Rabu, 04 Februari 2009

Undang-undang Pemilu

Posted by Alumni STAI Kapuas 04.22, under | No comments

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1999

TENTANG

PARTAI POLITIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang‑Undang Dasar 1945 adalah bagian dari hak asasi manusia ;

b. bahwa usaha untuk menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran, merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan atas hukum;

c. bahwa partai politik merupakan. sarana yang sangat penting arti, fungsi, dan perannya sebagai perwujudan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. bahwa Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang

Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sudah tidak dapat menampung aspirasi politik yang berkembang sehingga kehidupan demokrasi di Indonesia tidak dapat berlangsung dengan baik;

e. bahwa sehubungan dengan hal‑hal tersebut di atas dan untuk memberi landasan hokum yang lebih baik bagi tumbuhnya kehidupan partai politik yang dapat lebih menjamin peran serta rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945, dipandang perlu mengganti Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dengan sebuah Undang‑Undang Partai Politik yang baru.

Mengingat : Pasal 5 ayat ( I ), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28

Undang‑Undang Dasar 1945.

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Dalam undang‑undang ini yang dimaksud dengan Partai Politik adalah :

setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarcla alas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotam a maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.

(2) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotanva.

(3) Setiap Partai Politik mempumai kedudukan. fungsi. hak, dan kewajiban yang sama dan scderajat

(4) Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya.

BAB II

SYARAT‑SYARAT PEMBENTUKAN

Pasal 2

(1) Sekurang‑kurangmya 50 (lima puluh) orang vrarga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.

(2) Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi svarat:

a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai;

b. asas atau ciri. aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila;

c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap vcarga negara Republik Indonesia yang telah mempum‑ai hak pilih:

d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing. benders Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih. Bendera kebangsaan negara asing. gambar perorangan dan nama serfs lambang partai lain yang telah ada.

Pasal 3

Pembentukan Partai Politik tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.

Pasal 4

(1) Partai Politik didirikan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia.

(2) Departemen Kehakiman Republik Indonesia hanya dapat menerima pendaftaran pendirian Partai Politik apabila telah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang‑undang ini.

(3) Pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hokum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

BAB III

TUJUAN

Pasal 5

(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita‑cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945;

b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita‑cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 6

Setiap Partai Politik wajib mencantumkan tujuan umum dan tujuan khusus seperti tercantum dalam Pasal 5 undang‑undang ini di dalam anggaran dasarnya.

BAB IV

FUNGSI, HAK, DAN KEWAJIBAN

Pasal 7

(1) Partai Politik berfungsi untuk:

a. melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

b. menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat daIam pembuatan kebijakan negara melalui mekanisme badan‑badan permusyawaratan/ penvakilan rakyat;

c. mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi.

(2) Partai Politik sebagai lembaga demokrasi merupakan wahana guna menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik.

Pasal 8

Partai Politik mempunyai hak

a. ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan Undang‑Undang tentang Pemilihan Umum;

b. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan add dari negara.

Pasal 9

Partai Politik berkewajiban:

a. memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945;

b. mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memelihara persatuan dan kesatuan bangsa;

d. menyukseskan pembangunan nasional;

e. menyukseskan perryelenggaraan penuhhan umum secara demokratis, jujur,

dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan supra secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

BAB V

KEANGGOTAAN DAN KEPENGURUSAN

Pasal 10

(1) Anggota Partai Politik adalah warga negara Republik Indonesia dengan

persyaratan sebagai berikut:

a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin;

b. dapat membaca dan menulis;

c. memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Partai Politik.

(2) Partai Politik mendaftar dan memelihara daftar anggotanya.

Pasal 11

Partai Politik dapat membentuk kepengurusan di: a. ibukota negara Republik Indonesia untuk Pengurus Tingkat Pusat; b. ibukota propinsi untuk Pengurus Daerah Tingkat I; c. ibukota kabupaten/kotamadya untuk Pengurus Daerah Tingkat II; d. kecamatan untuk Pengurus Tingkat Kecamatan; e. desa/kelurahan untuk Pengurus Tingkat Desa/Kelurahan.

BAB VI

KEUANGAN

Pasal 12

(1) Keuangan Partai Politik diperoleh dari:

a. iuran anggota;

b. sumbangan;

c. usaha lain yang sah.

(2) Partai Politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnva.

(3) Penetapan mengenai bantuan tahunan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.

(4) Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.

Pasal 13.

(1) Partai Politik merupakan organisasi nirlaba.

(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Pasal 14

(1) Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak‑banyaknya adalah Rp 15.000.000,00 (lima belas juts rupiah) dalam waktu satu tahun.

(2) Jumlah sumbangan dari setiap perusahaan dan setiap badan lainnya yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak‑banyaknya adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juts rupiah) dalam waktu satu tahun.

(3 ) Sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku dan diperlakukan sama dengan sumbangan yang berupa uang.

(4) Partai Politik memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangannya, serta terbuka untuk diaudit oleh akuntan publik.

Pasal 15

(1) Partai Politik wajib melaporkan daftar sebagaimana dimaksud Pasal 14

ayat (4) beserta laporan keuanganma sctiap akhir tahun dan setiap 15 (lima belas) hari sebelum serta 30 (tiga puluh) hari sesudah pemilihan umum kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(2) Laporan sebagain mna dimaksud avat 1 I ) scwaktu‑waktu dapat diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

BAB VII

PENGAWASAN DAN SANKSI

Pasal 16

Partai Politik tidak boleh:

a. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila;

b. menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun dari pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung;

c. memberi sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung. yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara;

d. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain.

Pasal 17

(1) Pengawasan atas ketentuan‑ketentuan yang tercantum dalam undang­ undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika nyata‑nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 undang‑undang iru.

(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

(4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hokum tetap dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh

Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Pasal 18

(1) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara apabila suatu Partai Politik nyata‑nyata melanggar Pasal 15 undang‑undang ini.

(2) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat mencabut hak suatu Partai Politik untuk ikut pemilihan umum jika nyata‑nyata melanggar Pasal 13 dan Pasal 14 undang‑undang ini.

(3) Pencabutan hak sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dehgan terlebih dahulu mendengar pertimbangan pengurus pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

Pasal 19

(1) Barangsiapa dengan sengaja memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang‑Undang ini diancam pidanakunngan selama‑lamanya 30 (tigapuluh) hari atau pidana denda sebafi‑akfiairyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus juts nipiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja memberikan uang atau barang kepada orang lain dengan maksud agar orang tersebut menyumbangkannya kepada Partai Politik sehingga melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang‑Undang ini diancam pidana kurungan selamalamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak‑banyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa dengan sengaja menerima uang atau barang dari seseorang untuk disumbangkan kepada Partai Politik dengan maksud agar orang tersebut dapat menyumbang melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang‑Undang ini diancam pidana kurungan selamalamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak‑banyaknya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Barangsiapa dengan sengaja memaksa seseorang atau badan untuk memberikan sumbangan kel~ida Partai Politik dalam bentuk apa pun diancam pidana kurungan selama‑lamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak‑banyaknva Rp100.000.000,00 (seratus juts rupiah).

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 20

Pada scat berlakunya undang‑undang ini maka Organism Peserta Pemilihan Umum Tahun 1997, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan‑Partai Demokrasi Indonesia sebagai organisasi kekuatan sosial politik berdasarkan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Parfai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dianggap telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, dan Pasal 4 undang‑undang ini serca wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang‑undang ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

(1) Sejak mulai berlakunya Undang‑Undang ini maka undang‑undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tabun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Segala ketentuan dan peraturan yang bertentangan dengan undangundang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 22

Undang‑Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinva, memerintahkan pengundangan undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENJELASAN

ATAS

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1999

TENTANG

PARTAI POLITIK

UMUM

Pembentukan Partai Politik pads dasarnya merupakan salah sate pencerminan hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat sesuai dengan Pasal 28 Undang‑Undang Dasar 1945. Melalui Partai Politik rakyat dapat mewvjudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman pendapat di dalam masyarakat akan melahirkan keinginan untuk membentuk berbagai Partai Politik sesuai dengan ragam pendapat yang hidup. Dengan demikian, pads hakekatnya, negara tidak membatasi jumlah Partai Politik yang dibentuk oleh rakyat.

Dalam keragaman Partai Politik iru, setiap Partai Politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat. Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotama, dan karena itu Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur nmiah tangga organisasinya. Dengan demikian, pihak‑pihak yang berada di luar partai tidak dibenarkan camper tangan dalam unisan rumah tangga suatu Partai Politik.

Untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat yang dicita‑citakan oleh para pendiri negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945, setup Partai Politik dalam kehidupan bernegara melaksanakan secara konsisten Pancasila sebagai dasar Negara.

Dengan demikian dinamika demokrasi di Indonesia mendapatkan landasan yang kokoh. Karma acuan utama Partai Politik telah disepakati, maka setiap Partai Politik dapat mempunyai asas aCau ciri, aspirasi dan program tersendiri yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Aspirasi dan program Partai Politik merupakan pengejawantahan dari asas atau ciri dalam upaya memecahkan masalah bangsa Indonesia. Program tersebut diarahkan untuk mewvjudkan cita‑cita nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai tujuan umum dan mempeijuangkan cita‑cita para anggotanya sebagai tujuan khusus Partai Politik. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan cita‑city demokrasi berdasarkan Paticasila, hanya dapat tercapai jika perbedaan yang ada dalam mayarakat tidak dijadikan alasan untuk mendiskriminasikan keanggotaan Partai Politik. Prinsip nondiskriminasi dalam keanggotaan Partai Politik dimaksudkan agar demokrasi berdasarkan Paneasila dapat ternvjud secara dinamis, sehingga setiap Partai Politik bersifat terbuka bagi setiap ivarga negara Republik Indonesia. Dengan demikian, keragaman Partai Politik itu tidak menjadi pemecah belah bangsa tetapi justru menjadi pengikat persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai salah satu lembaga demokrasi, Partai Politik berfungsi mengembangkan kesadaran atas hak dan ke«apban politik iakyat memalurkan kepentingan mayarakat dalam pembuatan kebijakan negara. serta membina dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan‑jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi. Partai Politik juga merupakan salah satu wahana guns menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik. Semua fungsi ini divwjudkan melalui Pemilihan Umum yang diselenggarakan secara demokratis, jujur. dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas TAP MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu setiap Partai Politik berhak ikut serta dalam Pemilihan Umum setelah memenuhi syarat keikutsertaan sebagaimana diatur dalam Undang‑Undang tentang Pemilihan Umum.

Negara harus menjamin bahwa setiap n‑arga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi kebijakan negara melalui Partai Politik dan tenvujudnya asas demokrasi yaitu satu orang satu suara. Mengingat pembentukan Partai Politik merupakan pernvjudan kedaulatan raky•at, bukan penwjudan kekuatan ekonomi, maka perlu pembatasan somber keuangan Partai Politik untuk mencegah penyalahgunaan uang demi kepentingan politik (money politics). Keterbukaan Partai Politik dalam hal keuangan merupakan informasi

penting bagi warganegara untuk menilai dan memutuskan dukungannya terhadap Partai Politik tersebut.

Selanjutnya sebagai perwujudan prinsip negara hokum, Partai Politik tunduk pads peraturan perundang‑undangan yang berlaku. Pengawasan terhadap pelanggaran undang‑undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia alas dasar kewenangan yang ada padanya sebagai lembaga yudikatif tertinggi dengan merujuk kepada mekanisme hokum yang telah ditetapkan

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1999

TENTANG

PEMILIHAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Mengingat :

a.

b.

c.

d.

e

f.

1.

2.

3.

4.

bahwa berdasarkan Undang‑Undang Dasar 1945, negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;

bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;

bahwa Pemilihan Umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil‑wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

bahwa untuk lebih mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat dan dengan telah dilakukannya penataan Undang-undang di bidang politik. Perlu menata kembali penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia;

bahwa Undang‑undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pcmilihan Umum Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1975. Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1980. dan Undang‑undang Nomor 1 Tahun 1985, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan kehidupan politik, karna itu perlu dicabut;

bahwa sehubungan dengan hal‑hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e, perlu ditetapkan Undang‑undang tentang Pemilihan Umum;

Pasal 1 ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;

Ketetapan Majelis Permuyawaratan Rakyat Republik In­donesia Nomor XIV/IV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum;

Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809);

Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan, Dewan Penvakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811);

Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

(2) Pemilihan Umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

(3) Pemilihan Umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Pemilihan Umum dilaksanakan untuk memilih Anggota Dewan Penvakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut DPR, DPRD I, dan DPRD II, kecuali untuk Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

(5) Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud ayat (4) juga untuk mengisi keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. yang selanjutnya disebut MPR.

(6) Pemberian suara dalam pemilihan umum adalah hak setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih.

(7) Pemilihan Umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar.

Pasal 2

Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip‑prinsip demokrasi yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

BAB II

DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI

Pasal 3

(1) Untuk pemilihan anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II masing‑masing ditetapkan Daerah Pemilihan sesuai dengan tingkatannva.

(2) a. Untuk pemilihan anggota DPR. Daerah Pemilihannya adalah Daerah Tingkat I;

b. Untuk penulihan anggota DPRD I. Daerah Tingkat I merupakan satu Daerah Pemilihan;

c. Untuk pemilihan anggota DPRD II. Daerah Tingkat II merupakan satu Daerah Pemilihan;

Pasal 4

(1) Jumlah kursi Anggota DPR untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan berdasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat I, dengan ketentuan setiap Daerah Tingkat II mendapat sekurang‑kurangnya I (satu) kursi.

(2) Jumlah kursi Anggota DPR di masing‑masing Daerah Pemilihan ditetapkan oleh KPU.

Pasal 5

(1) Jumlah kursi Anggota DPRD I ditetapkan sekurang‑kurangmya 45 (empat puluh lima) dan sebanyak‑banyaknya 100 (seratus)

(2) Jumlah kursi Anggota DPRD I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat I, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;

b. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 3.000.001 (tiga juta satu) sampai dengan 5.000.000 (lima juts) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;\

c. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 5.000.001 (lima juta satu) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;

d. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 7.000.001 (tujuh juta satu) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juts) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;

e. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 9.000.001 (sembilan juta satu) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juts) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;

f. Daerah Tingkat I yang jumlah pendudukma di alas 12.000.000 (dua betas juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi;

(3) Setiap Daerah Tingkat II mendapat sekurang‑kurangnya 1 (satu) kursi untuk Anggota DPRD I.

(4) Penetapan jumlah kursi Anggota DPRD I untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan oleh KPU.

Pasal 6

(1) Jumlah kursi Anggota DPRD II ditetapkan sekurang‑kurangnya 20 (dua puluh) dan sebanyak‑banyaknya 45 (empat puluh lima).

(2) Jumlah kursi Anggota DPRD II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat II, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa mendapat 20 (dua puluh) kursi:

b. Daerah Tingkat lI yang jumlah penduduknya 100.001 (seratus ribu satu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa mendapat 25 (dua puluh lima) kursi;

c. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya 200.001 (dua ratus ribu satu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa mendapat 30 (tiga puluh) kursi;

d. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya 300.001 (tiga ratus ribu satu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;

e. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya 400.001 (empat ratus ribu satu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 40 (empat puluh) kursi;

f. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya di atas 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;

(3) Setup wilayah kecamatan mendapat sekurang‑kurangnya 1 (satu) kursi untuk Anggota DPRD II.

(4) Penetapan jumlah kursi untuk setup Daerah Pemilihan Anggota DPRD 11 ditentukan oleh KPU

Pasal 7

Jumlah Anggota DPR. UPRD I, dan DPRD II ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB III

PENYELENGGARAAN DAN ORGANISASI

Pasal 8

(1) Penanggung jawab Pemilihan Umum adalah Presiden.

(2) Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai‑partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah. yang bertanggung jawab kepada Presiden.

(3) Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang selanjutnya disebut KPU, berkedudukan di Ibukota Negara.

(4) Pembentukan KPU diresmikan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 9

(1) Keanggotaan KPU terdiri dari 1 (satu) orang Wakil dari masing‑masing Partai Politik peserta Pemilihan Umum dan 5 (lima) orang wakil Pemerintah.

(2) Hak suara dari unsur Pemerintah dan Wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum ditentukan berimbang.

(3) Wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum ditentukan oleh masing-­masing Pimpinan Pusat Partai dan Wakil Pemerintah ditetapkan oleh Presiden.

(4) KPU terdiri dari seorang Ketua, 2 (dua) orang Wakil Ketua, dan Anggota-­anggota.

(5) Ketua dan Wakil‑wakil Ketua dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota KPU dalam rapat pleno KPU.

(6) Masa keanggotaan KPU adalah 5 (lima) tahun.

(7) Tata kerja KPU disusun dan ditetapkan oleh KPU.

(8) Dalam melaksanakan tugasnya KPU dibantu oleh sebuah Sekretariat Umum yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Umum, dibantu seorang Wakil Sekretaris Umum.

(9) Organisasi dan tata kerja Sekretariat KPU ditetapkan oleh Presiden.

(10) Sekretaris Umum dan Wakil Sekretaris Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(11) Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Umum sebagaimpa dimaksud pada ayat (8) secara teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU dan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Pemerinah

Pasal 10

Untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas dan ke­wenangan sebagai berikut :

a. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;

b. menerima, meneliti, dan menetapkan Partai‑partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;

c. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;

d. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;

e. menetapkan keseluruhan basil pemilihan umum di semua daerah pemilihan untuk DPR. DPRD I, dan DPRD II;

f. mengumpulkan dan mensistematisasikan bahan‑bahan serta data basil Pemilihan Umum

g. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Pasal 11

Selain tugas dan kewenangan KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, selambat‑lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

Pasal 12

(1) PPI yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c berkedudukan di Ibukota Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPI terdiri dari wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, Wakil‑wakil Sekretaris, dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil‑wakil Sekretaris PPI dipilih secara demokratis oleh anggota KPU dari anggota KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU.

(4) Susunan dan keanggotaan PPI ditetapkan dengan keputusan KPU.

Pasal 13

Tugas dan kewenangan PPI adalah :

a. Membentuk serta mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I yang selanjutnya disebut PPD I di seluruh Indonesia;

b. Menetapkan nama‑nama calon anggota DPR untuk setiap daerah pemilihan;

c. Melaksanakan Pemilihan Umum untuk pemilihan anggota DPR;

d. Menghitung suara basil Pemilihan Umum untuk menentukan anggota DPR.

Pasal 14

(1) PPD I yang dibentuk oleh PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a. berkedudukan di Ibukota Propinsi dan berfungsi sebagai pelaksana PPI dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Kcanggotaan PPD I terdiri dari wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah. dengan susunan Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, Wakil‑wakil Sekretaris, dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil‑wakil Sekretaris dipilih secara demokratis dari dan oleh anggota PPD I.

(4) Susunan dan keanggotaan PPD I ditetapkan dengan keputusan PPI.

Pasal 15

Tugas dan Kewenangan PPD I adalah :

a. membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut PPD II di setiap daerah pemilihan;

b. menetapkan nama‑nama calon anggota DPRD I untuk setiap daerah pemilihan;

c. melaksanalcan pemilihan umum untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD I;

d. menghitung suara hasil Pemilihan Umum setiap daerah Pemilihan untuk DPR dan DPRD I;

e. membantu tugas‑tugas PPI.

Pasal 16

(1) PPD II yang dibentuk oleh PPD I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPD II terdiri dari Wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, Wakil‑wakil Sekretaris dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil‑wakil Sekretaris dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPD II.

(4) Susunan dan keanggotan PPD II ditetapkan dengan keputusan PPD I.

Pasal 17

Tugas dan Kewenangan PPD II adalah

a. membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Kecamatan yang seanjutnya discbut PPK;

b. menetapkan nama‑nama Calon anggota DPRD 11 untuk setiap daerali pemilihan:

c. melaksanakan Pemilihan Umum untuk pemilihan aggota DPR. DPRD I, dan DPRD II di daerahnya;

d. menghitung suara basil Pemilihan Umum setiap daerah pemilihan untuk DPR. DPRD, dan DPRD II:

e. membantu tugas‑tugas PPD I.

Pasal 18

(1) PPK yang dibentuk oleh PPD II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan berfungsi sebagai pelaksana PPD II dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPK terdiri dari Wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil Sekretaris dipilili sccara demokratis dari dan oleh Anggota PPK.

(4) Susunan dan keanggotaan PPK ditetapkan dengan keputusan PPD II.

Pasal 19

Tugas dan Kewenangan PPK adalah:

a. membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut PPS;

b. menghitung suara hasil Pemilihan Umum untuk DPR, DPRD 1, dan DPRD II di tingkat Kecamatan;

c. membantu tugas‑tugas PPD 11.

Pasal 20

(1) Dalam melaksanakan tugasnya PPI, PPD 1. PPD II, dan PPK dibantu oleh sebuah Sekretariat yang dikepalai oleh seoran¢ Kepala Sekretariat.

(2) Susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

(3) Personalia Sekretariat PPI diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri.

(4) Personalia Sekretariat PPD I diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur.

(5) Personalia Sekretariat PPD II dan PPK diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikotamadya.

Pasal 21

(1) PPS yang dibentuk oleh PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana PPK dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris. dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua. Wakil Ketua. dan Sekretaris dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPS.

(4) Susunan dan Keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK

Pasal 22

Tugas dan Kewenangan PPS adalah :

a. Melakukan pendaftaran pemilih dengan membentuk petugas pendaftaran pemilih;

b. Membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut KPPS sesuai dengan jumlah TPS;

c. Membantu tugas‑tugas PPK;

Pasal 23

(1) Keanggotaan KPPS terdiri dari wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan/atau wakil masyarakat.

(2) Susunan keanggotaan KPPS adalah sebagai berikut:

a. Seorang Ketua merangkap Anggota:

b. Seorang Wakil Ketua merangkap Anggota:

c. Anggota‑anggota.

(3) Ketua dan Wakil Ketua KPPS dipilih dari dan oleh Anggota KPPS.

(4) Susunan dan keanggotaan KPPS ditetapkan dengan keputusan PPS.

(5) Jumlah, tugas, dan kewajiban masing‑masing Anggota KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

(6) KPPS dilengkapi dengan dua orang anggota Pertahanan Sipil sebagai petugas keamanan yang diusulkan oleh Kepala Desa atau Kepala Kelurahan dan ditetapkan oleh KPPS.

(7) Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum di Daerah Pemilihan yang bersangkutan dapat mengutus satu orang saksi untuk mengikuti persiapan pemungutan suara, pelaksanaan pemungutan suara, dan penghitungan suara, di setiap TPS.

(8) Saksi utusan setiap Partai Politik peserta Pemilihan Umum di TPS harus menunjukkan surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat kepada KPPS

BAB IV

PENGAWASAN DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM

Pasal 24

(1) Dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Umum dibentuk Panitia Pengawas.

(2) Panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di Tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Tingkat Kecamatan.

(3) Keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Pusat, Tingkat I, dan Tingkat II, terdiri dari Hakim, Unsur Perguruan Tinggi, dan Unsur Masyarakat.

(4) Keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Kecamatan terdiri dari unsur Perguruan Tinggi dan unsur masyarakat.

(5) Susunan Panita Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) dan ayat (4) ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk Tingkat Pusat, Ketua Pengadilan Tinggi untuk Tingkat I, Ketua Pengadilan Negeri untuk Tingkat II dan Tingkat Kecamatan.

Pasal 25

Hubungan dan tata kerja antara Panitia Pengawas dengan KPU dan Panitia Pelaksana mulai dari Tingkat Pusat sampai dengan di TPS, diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung, berkonsultasi dengan KPU.

Pasa1 26

Togas dan kewajiban Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah:

a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum;

b. menyelesaikan sengketa alas perselisihan yang timbal dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum;

c. menindaklanjuti temuan, sengketa, dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hokum

Pasal 27

(1) Lembaga‑lembaga Pemantau Pemilihan Umum baik dari dalam maupun luar negeri dapat melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Urnum dengan mendaftarkan diri pada KPU.

(2) Tata cara pemantauan Pemilihan Umum oleh lembaga‑lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

BAB V

HAK MEMILIH

Pasal 28

Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

Pasal 29

(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih seorang warga negara harus terdaftar sebagai pemilih.

(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih harus dipenuhi syarat‑syarat sebagai berikut:

a. nyata‑nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

b. tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, karma tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

c. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.

(3 ) Seorang warga negara yang setelah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2). tidak dapat menggunakan hak memilihnya.

Pasal 30

Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih.

Pasal 31

Menteri Kehakiman memberitahukan kepada KPU tiap‑tiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, yang mengakibatkan seseorang dicabut hak pilihnya.

BAB VI

PENDAFTARAN PEMILIH

Pasal 32

(1) Pemberian suara merupakan hak waxga negara yang berhak memilih.

(2) Pendaftaran pemilih di tempat yang ditentukan, dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti diri lainnya yang sah.

(3) Untuk Desa/Kelurahan/UPT yang secara geografis sulit dijangkau oleh pemilih dan atau kondisi masyarakatnya masih sulit berprakarsa untuk mendaftarkan diri. PPS berkewajiban aktif melakukan pendaftaran pemilih yang bersangkutan.

(4) Penentuan jadwal waktu dimulai dan berakhirnya pendaftaran pemilih ditentukan oleh KPU.

Pasal 33

(1) Pendaftaran pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dilakukan dengan mencatat data pemilih dalam Daftar Pemilih.

(2) Format Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 34

(1) Pemilih yang namanya telah dicatat dalam Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, diberi bukti pendaftaran yang berlaku sebagai surat panggilan.

(2) Format surat panggilan ditetapkan oleh KPU

Pasal 35

( I ) Warga negara yang berhak memilih dan bertempat tinggal di luar negeri mendaftarkan diri ke Parutia Pemilihan Luar Negeri yang selanjutnya disebut PPLN, setempat.

(2) PPLN berkedudukan di kantor‑kantor perwakilan Republik Indonesia setempat.

(3 ) PPLN terdiri dari wakil‑wakil masyarakat Indonesia yang ditentukan oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia setempat, dengan mempertim­bangkan usulan yang telah masuk dari Pimpinan Pusat Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

(4) Susunan keanggotaan PPLN terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan sekurang‑kurangnya 3 (tiga) orang anggota, selanjutnya diusulkan kepada PPI untuk memperoleh Surat Keputusan.

Pasal 36

(1) Seorang pemilih hanya dapat didaftar dalam satu daftar pemilih.

(2) Apabila seorang pemilih mempuncai lebih dari satu tempat tinggal. pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang tetap.

(3) Apabila kemudian ternyata pemilih tersebut dengan sengaja mendaftarkan diri dalam lebih dari satu daftar pemilih, maka pemilih yang bersangkutan kehilangan hak pilihnya.

Pasal 37

(1) Apabila seorang pemilih telah terdaftar dalam Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, kemudian berpindah tempat tinggal, pemilih yang bersangkutan melapor kepada PPS setempat.

(2) Pemilih terdaftar yang telah melaporkan kepindahannya, menerima bukti tanda pendaftaran dari PPS di tempat tinggal yang baru.

(3) Pemilih terdaftar yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat yang bersangkutan tercatat dalam daftar pemilih, dapat menggunakan hak pilihnya di tempat lain yang pengaturan lebih lanjut ditentukan oleh KPU.

Pasal 38

(1) Daftar Pemilih Sementara diumumkan oleh PPS guns memberi kesem­patan kepada para pemilih untuk menyempurnakan Daftar Pemilih Sementara tersebut selanjutnya disahkan oleh PPK.

(2) Daftar Pemilih Sementara yang telah disempurnakan dan disahkan men­jadi Daftar Pemilih Tetap oleh PPK, diumumkan oleh PPS.

(3) Pemilih yang behun terdaftar dalam daftar pemilih tetap, dapat mendaf­tarkan diri dalam daftar pemilih tambahan.

(4) Jadwal dan jangka waktu kegiatan‑kegiatan sebagaimana dimaksud dada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh KPU.

(5) Daftar Pemilih Sementara, Daftar Pemilih Tetap, dan Daftar Pemilih Tambahan harus diberikan salinannya kepada Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

BAB VII

SYARAT KEIKUTSERTAAN DALAM PEMILIHAN UMUM

Pasal 39

(1) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat‑syarat sebagai berikut

a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang‑undang tentang Partai Politik;

b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia;

c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;

d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.

(2) Partai Politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat menjadi Peserta Pemilihan Umum, namun keberadaannya tetap diakui selama partai tersebut melaksanakan kewajiban‑kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang­-undang tentang Partai Politik.

(3) Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang‑kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang‑kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh In­donesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.

(4) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.

(5) Pendaftaran Partai Politik untuk menjadi peserta Pemilihan Umum, diatur lebih lanjut dengan keputusan KPU.

Pasal 40

Partai Politik Peserta Pemilihan Umum ddak boleh menggunakan nama dan tanda gambar yang sama atau mirip dengan :

a. lambang negara Republik Indonesia;

b. lambang negara asing;

c. bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih;

d. benders kebangsaan negara asing;

e. gambar perseorangan;

f. tanda gambar partai politik yang telah ada.

BAB VIII

HAK DIPILIH DAN PENCALONAN

Pasal 41

(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II untuk setiap Daerah Pemilihan

(2) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mengajukan nama‑nama calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II, sebanyak‑banyaknya 2 (dua) kali jumlah kursi yang telah ditetapkan.

(3) Seorang calon hanya dapat dicalonkan dalam 1(satu) Lembaga Perwakilan Rakyat.

(4) Calon‑calon yang diajukan oleh masing‑masing Partai Politik mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.

(5) Penyusunan daftar calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dilakukan secara demokratis oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik dengan memperhatikan sungguh‑sungguh usulan tertulis dari Pimpinan Partai Politik di Daerah Tingkat II.

(6) a. Daftar nama‑nama talon Anggota DPR diajukan oleh Pimpinan Pusat Partai Peserta

Pemilihan Umum dengan menyebutkan Daerah Tingkat II dimana yang bersangkutan dicalonkan;

b. Daftar nama‑nama talon Anggota DPRD I diajukan oleh Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, dengan menyebutkan Daerah Tingkat II dimana yang bersangkutan dicalonkan.

c. Daftar nama‑nama calon Anggota DPRD ll diajukan oleh Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Daerah Tingkat II dengan menyebutkan Wilayah Kecamatan dimana yang bersangkutan dicalonkan.

Pasal 42

Anggota ABRI tidak menggunakan hak untuk dipilih.

Pasal 43

(1) Seorang calon anggota DPR. DPRD I. dan DPRD II harus memenuhi syarat‑syarat sebagai berikut :

a. warga negara yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. bertempat tinggal dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP atau Keterangan Lurah/Kepala Desa tentang alamatnya yang tetap;

c. dapat berbahasa Indonesia, cakap membaca dan menulis;

d. berpendidikan serendah‑rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau berpengetahuan yang sederajat dan berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan;

e. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang Undang Dasar 1945, dan cita‑vita proklamasi 17 Agustus 1945;

f. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indone­sia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "G30S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap;

h. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

i. nyata‑nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

j. terdaftar dalam daftar pemilih.

(2) Anak‑anak dan kcturunan dari orang yang dinmksud pada ay at ( l ) huruf f dapat menjadi talon Anggota DPR. DPRD I, dan DPRD lI. kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Pasal 44

( I ) Untuk keperluan pencalonan Anggota DPR. DPRD I. dan DPRD II, Pengurus Partai Politik Peserta Pemilihan Umum wajib menyerahkan data

a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik pada tingkatan masing‑masing;

b. surat pernyataan kesediaan menjadi talon anggota DPR/DPRD I/ DPRD II;

c. daftar riwavat hidup lengkap;

d. daftar kekayaan pribadi;

e. surat keterangan domisili;

f. surat‑surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.

(2) Format pengisian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

(3) Daftar Calon beserta lampiran‑lampiranya disampaikan kepada :

a. PPI untuk talon Aijggota DPR.

b. PPD I untuk talon Anggota DPRD I.

c. PPD II untuk talon Anggota DPRD II.

(4) Penelitian terhadap kelengkapan dan penetapan atas keabsahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dilakukan oleh :

a. PPI untuk talon Anggota DPR:

b. PPD I untuk talon Anggota DPRD I:

c. PPD II untuk talon Anggota DPRD II.

(5) Apabila seorang talon ditolak karna tidak memenuhi syarat talon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). penolakannya diberitahukan secara tertulis kepada Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang mengajukan calon dan kepada yang bersangkutan disertai alasan‑alasan yang jelas, dan kepadanya diberi kesempatan untuk melengkapi dan atau memperbaiki syarat calon. atau kepada Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang mengajukan calon diberi kesempatan untuk mengajukan calon lain dalam waktu yang ditetapkan oleh PPI/PPD I/PPD II.

Pasal 45

(1) Nama calon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44, disusun dalam Daftar Calon Anggota DPR/ DPRD I/DPRD II dan disahkan dalam rapat PPI/PPD I/PPD II.

(2) Daftar Calon Anggota DPR/DPRD I/DPRD II yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). diumumkan dalam Berita Negara/Lembaran Daerah serta melalui media pengumuman lainnya secara luas dan efektif

(3) Tata cara dan jadwal waktu pencalonan Anggota DPR/DPRD I/DPRD II diatur oleh KPU.

BAB IX

KAMPANYE PEMILIHAN UMUM

Pasal 46

(1) Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat diadakan kampanye Pemilihan Umum.

(2) Dalam kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rakyat mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk menghadirinya.

(3) Pelaksanaan kegiatan kampanye Pemilihan Umum dilakukan sejak selesainya pengumurnan Daftar Calon Tetap Anggota DPR/DPRD I/DPRD II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan 2 (dua) hari sebelum hari pemungutan suara.

(4) Tema kampanye Pemilihan Umum adalah program masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang disampaikan oleh calon Anggota DPR/DPRD I/DPRD II dan atau juru kampanye dan atau kader Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

(5) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang lama selama melaksanakan kampanye Pemilihan Umum

(6) Tata cara dan jadwal waktu kampam a Pemilihan Umum diatur oleh KPU

Pasal 47

(1) Dalam kampamc Pemilihan Umum dilarang

a. mempersoalkan ideologi negara Pancasila dan UUD 19.15.

b. menghina seseorang. agama. suku. ras. golongan. serta Partai Politik yang lain;

c. menghasut dan mengadu domba kelompok‑kelompok masyarakat;

d. mengganggu ketertiban umum;

e. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dan/atau Partai Politik yang lain;

f. mengancam atau menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah;

g. menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah;

h. menggerakkan massa dari satu daerah ke daerah lain untuk mengikuti kampam e.

(2) Pelanggaran atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berakibat dibubarkan atau diberhentikan pelaksanaannya oleh yang berwenang.

Pasal 48

(1) Dana kampanye Pemilihan Umum masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat diperoleh dari :

a. Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan;

b. Pemerintah. yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

c. Pihak‑pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi badan‑badan swasta, perusahaan. yayasan, atau perorangan.

(2) Batas dana kampanye yang dapat diterima oleh Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.

(3) Dana dan bantuan lain untuk kampanye Pemilihan Umum masing‑masing Partai Politik tidak boleh berasal dari pihak asing.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada avat (1) dan a\ at (2). dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksnd dalam.Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ay at (2) Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

Pasal 49

(1) Dana Kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diaudit oleh Akuntan Publik, dan hasilnya dilaporkan oleh Partai Politik Peserta Pemilihan Umum kepada KPU 15 (lima belas) hari sebelum hari pemungutan suara dan 25 (dua puluh lima) hari sesudah hari pemungutan suara.

(2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa penghentian bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.

(3) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang melanggar batas jumlah dana kampanye dikenakan sanksi administratif tidak boleh mengikuti Pemilihan Umum berikutnya

BAB X

PEMUNGUTAN SUARA DAN PENGHITUNGAN SUARA

Pasal 50

(1) Pemungutan suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II di tempat pemungutan suara, dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal yang ditetapkan oleh KPU

(2) Pemungutan suara bagi warga negara yang berada di luar negeri. hanya untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, yang dilaksanakan di tiap kantor Perwakilan Republik Indonesia, dan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan waktu pemungutan suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II yang ditctapkan oleh KPU.

Pasal 51

(1) PPS menetapkan jumlah dan letak TPS sedemikian rupa, sehingga pemungutan suara dapat dilaksanakan secara mudah dan lancar.

(2) Tempat pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat‑tempat yang strategic dan dapat dijangkau dengan mudah serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara bebas.

Pasal 52

(1) Untuk keperluan pemungutan suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dibuat surat suara oleh KPU.

(2) Jumlah surat suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPR. DPRD I. dan DPRD II pada setiap daerah pemilihan adalah sama dengan jumlah pemilih terdaftar di daerah pemilihan yang bersangkutan ditambah 3% (tiga per seratus) dari jumlah pemilih.

(3) Surat suara tambahan sebanyak 3% (tiga per seratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mengganti surat suara yang rusak sebelum atau pada saat pelaksanaan pemungutan suara di TPS dan untuk pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihma di tempat lain.

(4) Penerimaan dan Penggunaan surat suara tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan diketahui oleh saksi yang hadir, yang formatnya ditetapkan oleh KPU.

Pasal 53

Pemberian dan pemungutan suara dilakukan dengan cara‑cara yang akan di­tentukan oleh KPU.

Pasal 54

(1) Suara dinyatakan sah apabila menggunakan surat suara, yang di­tandatangani oleh Ketua KPPS.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sah atau tidak sahnya suara pada surat suara ditetapkan oleh KPU.

Pasal 55

(1) Pemilih yang telah memberikan suara di tempat pemungutan suara, oleh KPPS diberi tanda khusus.

(2) Tauda khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat ( ( ) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 56

(1) Segera setelah pemungutan suara berakhir diadakan penghitungan suara di TPS oleh KPPS.\

(2) Para saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum, para pemilih, dan berbagai pihak berhak hadir untuk menyaksikan dan mengikuti jalannya penghitungan suara oleh KPPS.

(3) Saksi Utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS.

(4) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS. apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(5) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.

Pasal 57

(1) Segera setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara yang ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Ketua KPPS serta para saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(2) KPPS wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara di TPS kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPS setempat.

Pasal 58

(1) PPS setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara TPS dalam wilayah kerja PPS yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Desa/Kelurahan dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masvarakat setempat.

(2) Saksi Utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPS.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPS, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakuan tabulasi basil penghitungan suara di semua TPS dalam wilayah kerja Desa/Kelurahan yang bersangkutan, PPS membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara, yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris PPS serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang Nadir.

(6) PPS wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hash Penghitungan Suara di PPS kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPK setempat.

Pasal 59

(1) PPK setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPS dalam wilayah kerja PPK yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Kecamatan dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masyarakat setempat.

(2) Saksi Utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPK.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Pescrta Pemilihan Umum yang hadir dapat mcngajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPK. apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hasil penghitungan suara di semua Desa/Kelurahan yang terdapat di Kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara, yang ditandatangani oleh Ketua dan sekretaris PPK serta para saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPK wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara di PPK kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPD II setempat

Pasal 60

(1) PPD II setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPK dalam wilavah kerja PPD II yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masyarakat setempat.

(2) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa suara mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPD II.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPD II, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPD II seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hasil penghitungan suara di semua kecamatan yang terdapat di Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan. PPD II membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris PPD II serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPD II wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hash Penghitungan Suara di PPD II kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPD I setempat.

Pasal 61

(1) PPD I setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPD II dalam Wilayah kerja PPD I yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Propinsi dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masyarakat setempat.

(2) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPD I.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPD I, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPD I seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hasil penghitungan suara di semua Daerah Tingkat II yang terdapat di Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, PPD I membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara, yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris PPD I serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPD I wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara di PPD I kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPI.

Pasal 62

(1) PPI setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPD I seluruh Indonesia. segcra mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat nasional dan dihadiri olch saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum serta dapat dihadiri oleh masyarakat.

(2) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik dan menyerahkannya kepada Ketua PPI.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPI, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPI seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hash penghitungan suara di semua Propinsi Daerah Tingkat I, PPI membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara. yang ditandatangani oeh Ketua dan Sekretaris PPI serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPI wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara tingkat nasional kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada KPU.

Pasal 63

Keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum terhadap jalannya penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (5), Pasal 58 ayat (4), Pasal 59 ayat (4), Pasal 60 ayat (4), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 62 ayat (4) tidak menghalangi proses pelaksanaan Pemilihan Umum.

Pasal 64

Format Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara di TPS serta Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara di PPS, PPK, PPD 11, PPD I, dan PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1). Pasal 58 ayat (5). Pasal 59 ayat (5), Pasal 61 ayat (5), dan Pasal 62 avat (5) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 65

(1) Berdasarkan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara yang disampaikan oleh PPI, KPU menetapkan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum di seluruh Indonesia

(2) Penetapan keseluruhan hasil Penghitungan Suara yang dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara yang ditandatangani oleh sekurang‑kurangnya 2/3 (dua per tiga) Anggota KPU.

(3) Format Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghittingan Suara yang dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.

BAB XI

PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM

Pasal 66

(1) Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPRD II dilakukan oleh PPD II.

(2) Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPRD I dilakukan oleh PPD

(3) Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPR dilakukan oleh PPI.

(4) Penetapan keseluruhan hasil penghitungan suara untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II secara Nasional dilakukan oleh KPU.

Pasal 67

(1) Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk Anggota DPRD II, didasarkan atas seluruh hasil suara yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat II.

(2) Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk Anggota DPRD I, didasarkan atas seluruh hasil suara yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat 1.

(3) Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk Anggota DPR. didasarkan atas seluruh hasil suara yang diperoleh Paitai Politik tersebut di Daerah Tingkat I.

Pasal 68

(1) Penentuan calon terpilih Anggota DPRD II, dari masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum oleh PPD II berdasarkan pengajuan Pimpinan Partai Politik Daerah Tingkat II dengan mengacu kepada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh Partai Politik tersebut di Wilayah Kecamatan.

(2) Penentuan talon terpilih Anggota DPRD I dari masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum oleh PPD I berdasarkan pengajuan Pimpinan Partai Politik Daerah Tingkat I dengan mengacu kepada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat II.

(3) Penentuan talon terpilih Anggota DPR dari masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum oleh PPI berdasarkan pengajuan Pimpinan Partai Politik Tingkat Pusat dengan mengacu kepada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat II.

(4) Tata cara Pengesahan talon terpilih Anggota DPR, DPRD I, dun DPRD II secara nasional diatur oleh KPU.

Pasal 69

(1) Sisa suara untuk penetapan Anggota DPR habis dihitung di tingkat I untuk pembagi sisa kursi.

(2) Penentuan talon terpilih atas kursi sisa tersebut, merupakan wewenang Pimpinan Pusat Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang ber­sangkutan.

BAB XII

PENGUMUMAN HASIL PEMILIHAN DAN

PEMBERITAHUAN KEPADA CALON TERPILIH

Pasal 70

(1) Pengumuman hash Pemilihan Umum Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR Pusat dilakukan oleh :

a. PPD II untuk Anggota DPRD II; b. PPD I untuk Anggota DPRD I;

c. PPI untuk Anggota DPR.

(2) Pengumuman hasil Pemilihan Umum Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jadwal waktunya ditentukan lebih lanjut oleh KPU.

Pasal 71

(1) Pemberitahuan kepada calon terpilih Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR dilakukan oleh :

a. PPD II untuk Calon Anggota DPRD II terpilih;

b. PPD I untuk Calon Anggota DPRD I terpilih;

c. PPI untuk Calon Anggota DPR terpilih.

(2) Pemberitahuan kepada calon Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jadwal waktunya ditentukan lebih lanjut oleh KPU.

BAB XIII

KETENTUAN PH)ANA

Pasal 72

(I) Barang siapa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Barang siapa meniru atau memalsu sesuatu surat, yang menurut suatu aturan dalam Undang‑undang ini diperlukan untuk men jalankan sesuatu perbuatan dalam Pemilihan Umum, dengan maksud untuk dipergunakan sendiri atau orang lain sebagai surat sah dan tidak dipalsukan. dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Barang siapa dengan sengaja dan mengetahui bahwa sesuatu surat dimaksud pada ayat (2) adalah tidak sah atau dipalsukan. memper­gunakannya atau menyuruh orang lain mempergunakannya, sebagai surat sah dan tidak dipalsukan, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 73

(1) Barang siapa dengan sengaja mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya Pemilihan Umum yang diselenggarakan menurut Undang‑undang ini, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(2) Barang siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan menghalang‑halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih dengan bebas dan tidak terganggu jalannya kegiatan Pemilihan Umum dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Barang siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.

(4) Barang siapa pada waktu diselenggarakan Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini melakukan tipu muslihat yang menyebabkan suara seseorang pemilih menjadi tidak berharga atau yang menyebabkan partai tertentu mendapatkan tambahan suara, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(5) Barang siapa dengan sengaja turut serta dalam Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) huruf f dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(7) Barang siapa memberikan suaranya lebih dari yang ditetapkan dalam Undang‑nndang ini dalam satu Pemilihan Umum. dipidana dengan huku­man penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(8) Barang siapa pada waktu diselenggarakan Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan, atau melakukan sesuatu perbuatan tipu muslihat, yang menyebabkan hasil pemungutan suara itu menjadi lain dari yang harus diperoleh dengan suara‑suara yang diberikan dengan sah, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(9) Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya tanpa alasan bahwa pekerjaan dari pekerja itu tidak memungkinkannya, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(10) Seorang penyelenggara Pemilihan Umum yang melalaikan kewajibannya dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 3 (figs) bulan atau denda paling tinggi Rp 10.000.000,‑ (sepuluh juta rupiah).

(11) Barang siapa memberikan sumbangan dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KPU dipidana dengan hukuman kurangan paling lama 3 (figs) bulan atau denda paling banyak Rp 10.000.000,‑ (sepuluh juta rupiah).

Pasal 74

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) sampai dengan ayat (9) adalah kejahatan.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (10) dan ayat (11) adalah pelanggaran.

Pasal 75

Dalam menjatuhkan pidana atas perbuatan‑perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dan ayat (3), surat‑surat yang dipergunakan dalam tindak pidana itu, beserta benda‑benda dan barang yang menurut sifatnya diperuntukkan guna meniru atau memalsu surat‑surat itu, dirampas dan dimusnahkan, juga kalau surat‑surat, benda‑benda atau barang‑barang itu bukan kepunyaan terpidana.

BAB XIV

KETENTUAN LAIN‑LAIN

Pasal 76

Apabila di suatu tempat di dalam suatu daerah pemilihan sesudah diadakan penelitian dan pemeriksaan termyata terdapat kekeliruan, kesalahan, atau hal­-hal lain yang menghambat dalam pemungutan suara, yang mengakibatkan terganggunya penghitungan suara PPD I/PPD II yang bersangkutan, dengan memperhatikan ketentuan jadwal waktu yang ditetapkan, yang dikuatkan oleh Panitia Pengawas dan Pemerintah Daerah setempat, dapat mengadakan pemungutan suara ulangan di tempat yang bersangkutan.

Pasal 77

Apabila di suatu tempat di dalam suatu daerah pemilihan pada waktu yang telah ditetapkan tidak dapat diselenggarakan Pemilihan Umum atau penyeleng­garaannya terhenti disebabkan oleh keadaan yang memaksa, maka sesudah keadaan memungkinkan, segera diadakan Pemilihan Umum susulan atau Pemilihan Umum ulangan di tempat yang sama dengan memperhatikan ketentuan Batas waktu yang telah ditetapkan.

Pasal 78

Pelaksanaan pemungutan suara ulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan pelaksanaan Pemilihan Umum susulan atau Pemilihan Umum ulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasa177 dilakukan selambat‑lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak hari pemungutan suara.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 79

(1) Sebelum KPU terbentuk, Lembaga Pemilihan Umum (LPU) sebagaimana dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-­undang Nomor 1 Tahun 1985, melaksanakan tugas KPU sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf b dun Pasal 39 ayat (5) paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah Undang‑undang ini diundangkan.

(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPU harus sudah dibentuk dan segala hak dan kewajiban LPU menjadi tanggung jawab KPU.

Pasal 80

(1) Untuk Pemilihan Umum tahun 1999, Organisasi Peserta Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 1997 dianggap telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 39 Undang‑undang ini.

(2) Organisasi Peserta Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 1997 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap harus mendaftar sebagai peserta Pemilihan Umum tahun 1999.

Pasal 81

Khusus pengisian Anggota MPR hasil Pemilihan Umum tahun 1999 dari Utusan Golongan diatur sebagai berikut :

a. KPU menetapkan jenis dan jumlah wakil masing‑masing golongan;

b. Utusan golongan sebagaimana dimaksud pada huruf a, diusulkan oleh golongan masing‑masing kepada KPU untuk ditetapkan, dun selanjutnya diresmikan secara administratif oleh Presiden sebagai Kepala Negara;

c. Tata cara penetapan Anggota MPR dari Utusan Golongan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, diatur lebih lanjut oleh KPU.

Pasal 82

Untuk Pemilihan Umum tahun 1999, syarat Partai Politik untuk dapat menjadi peserta Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan menjadi : a. memiliki pengurus di 1/3 (sepertiga) jumlah propinsi di Indonesia:

b. memiliki pengurus di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 83

Masa kerja KPU untuk Pemilihan Umum 1999 berakhir 1 tahun sebelum Pemilihan Umum 2004.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 84

Segala sesuatu yang belum cukup diatur di dalam Undang‑undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah sesuai kebutuhan.

Pasal 85

Dengan berlakunya Undang‑undang ini, maka Undang‑undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota‑anggota Badan Permusya­waratan/Perwakilan Rakyat (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2914) sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1975 (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3063), Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1980 (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3163), dan Undang‑undang Nomor 1 Tahun 1985 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3281), dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 86

Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan penempatanya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 1 Pebruari 19993

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Pebruari 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 23.

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan

Perundang‑undangan II

Plt.

Edy Sudibyo, S.H.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan klik disini