Rabu, 04 Februari 2009

ASWAJA

Posted by Alumni STAI Kapuas 04.04, under | No comments

MEMAHAMI ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Senin, 25 Maret 2008, di tulis oleh : Ahmad Subhan, S.PdI

Selama ini ahlussunah wal jamaah (aswaja) sering dianggap sebafgai idiologi kaku dan mengklaim sebagai satu-satunya kelompok aliran keislaman yang berhak masuk surga. Konsepsi yang kaku tersebut sering memunculkan rivalitas dan gesekan pemikiran, bahkan konflik antar kelompok dalam islam. Konflik dan rivalitas itu berujung pangkal pada klaim kebenaran tersebut. Klaim ini tidak lepas dari pemahaman mereka tentang Aswaja sebagai sebuah madzhab, sehingga eksistensi Aswaja semakin mengkristal bahkan menjadi sebuah institusi yang baku dan establish.
Melihat realitas ini Said Aqil Siraj mengatakan bahwa aswaja akan menjadi paradoks ketika Aswaja hanya dipahami sebagai madzhab. Karena hal ini bertentangan dengan fakta sejarah kelahiran Aswaja itu sendiri. Aswaja adalah paham inklusif bagi seluruh umat isla m. Bukan milik organisasi atau institusi tertentu. Maka dari itu PMII bersama dengan tokoh progresif NU seperti Gus Dur, Said Aqiel Siraj, Ulil Absor Abdalla dll memahami Aswaja sebagai manhaj Al-fikr (metode berfikir).

ASWAJA APAAN TUH...?


Ahlussunah wal jamaa’ah (aswaja) adalh terdiri dari tiga kata yaitu Ahlun, sunnah, dan jamaah. Kata ahlun dalam kamus Almunawir berarti famili, oleh Zabidi dan Said A.S. diartikan sebagai pengikut aliran. Sedangkan kata Sunnah yang artinya perilaku dari kata sunah yang artinya jalan dalam pandangan ‘ulama’ hadits , sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan dan perjalanan Nabi baik sebelum diutus menjadi Rasul maupun sesudahnya (Hasbie AsSidiqie, 1964).


Ulama’ ushul Fiqh mendefinisikan fiqh sebagai , “segala sesuatu yang berasal dari nabi SAW selain Al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan syara’”. Ulama’ fiqh dalam perspektif lain mendefinisikan sebagai “segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW dan tidak menjadi bagian dari masalah fardlu dan wajib dan dia adalah jalan yang diikuti dalam persoalan agama”.


Berdasarkan lacakan bahasa, Said a.S. (1998) mendefinisikan As-Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dirujukkan kepada perilaku atau jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW beserta sahabat-sahabatnya”. Ada yang menggaris bawahi perilaku sahabat-sahabat Nabi dapat dijadikan sandaran jika tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi, jadi sifatnya masih relatif.


Adapun pengertian Al-jama’ah secara etimologi berarti kelompok. Berasal dari kata jama’ah yang artinya perhimpunan (Al-Munawir 1984). Secara terminologi Al- Jama’ah menurut Imam Bukhari adalah Ahlul ‘ilmi (kaum intelektual). Imam Ath-Thabari mendefinisikan Al-Jama’ah adalah mayoritas golongan. Adapun menurut Imam Al Mubaraq menafsirkan Al jama’ah sebagai orang yang memiliki sifat-sifat keteladanan yang sempurna berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan menurut As-Satibi Al-Jama’ah adalah para sahabat Nabi SAW dan masih banyak pengertian yang lain(Badrun 2000).


Menurut Harun Nasution term Ahlussunnah wal jamaah timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan mu’tazilah yang tidak begitu berpegang pada Sunnah atau tradisi karena meragukan keotentika Sunnah. Selain itu Mu’tazilah bukan paham yang populer dikalangan rakyat biasa yang terbiasa dengan pemikiran yang sederhana. Karena persoalan itu muncullah term Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti golongan yang berpegang teguh pada Sunnah (tradisi) dan merupahan faham mayoritas ummat. Jika ditelusuri secara teoritis, definisi dari istilah sunni atau Aswaja akan sulit didapatkan secara pasti dan konsensus. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan dalam menggunakan istilah sunni secara akademik dan politik. Terlepas dari perbedaan tentang pengertian Sunnah tadi terdapat persamaan bahwa Sunnah kebiasaan Nabi baik berupa praktek ibadah maupaun praktek kehidupan Rasulullah sebagai makhlul sosial yang butuh berinteraksi dengan alam, manusia dan Tuhannya.
Dalam perkembangan islam sunni dapat dipandang dalam dua perspektif yaitu Sunni sebagai pemikiran aliran dan Sunni sebagai sejarah politik.

Pertama, Sunni sebagai pemikiran aliran yakni Sunni dalam dataran akademis tidak dibatasi oleh madzhab seperti pembatasan hanya ada dua imam dalam theologi (Asy’ariyah Dan Al-Maturidiyah), dua imam dalam bidang tasawuf (Al-Ghazali dan Junaidi), dan empat imam fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).

Perumusan konsep Sunni seperti diatas hampir sama dengan konsep yang ditawarkan KH. Said Aqiel Siraj bahwa Asy’ari dan Maturiddi hanya dua dari sekian banyak ‘ulama’ yang menggunakan metode jalan tengah dalam merespon dan menghukumi persoalan-persoalan sosial keagamaan. Karena dasar itu pula Said Aqiel Siraj tidak mau mengklaim Wasil bin Atha’ , hasan Basri dan Qadli abdul jabar bukan orng-orang Sunni. Kedua, sunni dalam sejarah politik yaitu kelahiran pemikiran Sunni tak lepas dari “gonjang-ganjing” setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Tentang perbedaan pendapat dari kalangan sahabatnya, siapa yang menjadi pemimpin ummat Islam setelah Nabi wafat . Adanya Pertemuan Tsaqifah yang bertujuan untuk mencari titik temu (konsensus) karena adanya friksi dikalangan ummat islam dalam mensikapi pergantian pemimpin ummat. Justru menjadi perjuangan politik dari berbagai aliran yang ada di Madinah untuk memunculkan nama kandidat mereka dalam kursi khalifah. Kelompok-kelompk di Madinah yang terlibat dalam frisi politik antara lain, pertama kelompok Muhajirin yaitu golongan yang berhijrah bersama Nabi dari Makkah ke Madinah. Muhajirin mengklaim dbahwa ia berhak memimpin ummat islam karena mereka adalah orang yang masuk islam terlebih dahulu.

Kedua, adalah kelompok Anshar yaitu orang-orang Madinah yang menerima dan menollong Muhajirin dari tekanan politik serta ekonomi yang dilakukan kelompok kafir Quraisy.
Ketiga, kelompok Ali bin Abi Thalib yang juga disebut kelompok syiah bani hasyim. Kelompok inin mencalonkan Ali sebagai kepala negara karena sebagai kelompok terakhir secara keturunan yang lebih berhak menggantikan posisi Nabi SAW.

Akhir dari pertemuan Tsaqifah menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah dan ini tetap belum mampu mengeleminir friksi yang ada diantara umat islam, apalagi menyelesaikan masalah. Hal ini terlihat dengan terlambatnya (6 bulan) pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah karena Ali tidak bersedia membai’atnya. Dan Ali baru bersdia ketika setelah Fatimah wafat.
Perbedaan pendapat tadi ternyata menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan yang puncaknya setelah khalifah usman wafat, konflik fisik tak dapat dihindarkan. Selain disebabkan friksi yang berbeda terjadi juga dipicu kebijakan Usman dan kontroversi yang menyebabakan terbunuhmya Usman.

Akibat friksi politik yang semakin kronis, kemudian menjadi konflik horizontal yang menimbulkan dua perang besar yaitu, pertama perang siffin , kelompok Ali berhadapan dengan kelompok Muawiyah. Kedua perang Jamal, dalam perang ini kelompok Ali bertemu dengan kelompok Aisyah, Zubair dan Thalhahdi medan perang. Akibat perang besar tersebut, kekalutan politik semakin kronis, faksi politik semakin banyak seiring dengan semakin banyaknnya perbedaan pandangan seputar konflik Ali dan Muawiyah. Kelompok lain yang muncul setelah kelompok Khawarij dan Syiah. Abdul Qadir Zailany dalam Jahmiyah Najriyah yang kemudian dikutip oleh Bulakia Syakir menyebutkan kelompok-kelompok yang lahir kemudian adalah Mu’tazilah, Murji’ah, Musyhibah, Jahmiyah, Najariyah, Darrariyah, Kilabiyah, dan Ahli Sunnah Wal Jama’ah.


Maka awal adanya perbedaan yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran tersebut adalah disebabakan persoalan sosiai politik dari pada masalah pemahaman teks keagamaan.dalam perjalanan selanjutnya perbadaan tersebut semakin mengkristal dan berkembang ke semua aspek keagamaan. Setiap kelimpok mempunyai aliran pemikiran sendiri dalam persoalan teologis dan hukum. Diantara perbedaan pemikiran tadi ada beberapa kelompok yang memperlihatkan perbedaan yang sangat ekstrim. Kelompok mu’tazilah misalnya lebih bercorak rasionalistik, Jabariyah cenderung bercorak fatalistik. Kelompok lainnya, Qadariyah mempunyai pola pemikiran yang tingkat rasionalismenya sangat ekstrim. Di tengah sengitnya perselisihan antar golongan yang menjurus pada pertikaian politik dan pemahaman keagamaan tadi muncullah ide tabi’in yang berfikir moderat. Kelompok tersebut ini dimotori Abu Hasan bin Abi Hasan Al-Bahsyari.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN SUNNI


Di dalam kekhalifahan Abbasyiyah (750-1258 M) , pemikiran Sunni memiliki perkembangan yang sangat pesat. Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir Sunni yang monumental diantaranya Abi Hanifah (W. 795 M), Malik bin Annas (W. 759 M), Asy-Syafi’i (W. 820 M), Ahmad bin Hanbal (W 855 M).

Pada masa itu Sunni tumbuh bersama dengan Mu’tazilah. Karena itu perkembangan Sunni secara langsung maupun tidak langsung tidak luput dari pengaruh rivalitas pemikiran antara Sunni dengan Syafi’i dan kelompok lainnya. Pesaing tersebut disikapi kelompok Sunni ddengan mengambil langkah-langkah penting diantara dengan mengembangkan dasar-dasar hukum islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hal ini dilakukan karena diluar main stream kelompok tersebut ada kelompok lain yang mengembangkan aliran pemikiran yang bercorak rasionalistik dan penilaian yang subyektif.

Langkah tersebut dilanjutkan dengan merumuskan konsep teoririk yang digali dari nilai-nilai tradisi untuk menggantikan tradisi hidup yang informal. Tujuannya selain untuk membatasi penggunaan rasio yang berlebihan juga untuk membatasi penggunaan hadis-hadis yang benar-benar autentik.

Pembatasan untuk menggunakan hadis-hadis tersebut diiringi dengan upaya menginfestigasi untuk menyelidiki hadis-hadis mana yang lebih shahih dan layak untuk digunakan serta hadis mana yang masuk kategori mursal. Karena itu di masa ini lahir kompilasi-kompilasi hadis yang spektakuler seperti Al Jami’us Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari (W. 870), Al jami’us Shahih karya Imam Muslim (W. 1915 M), As-Sunnah karya An-nasa’i, As Sunan karya ibnu majah, As-sunan karya abu daud.


Sikap kelompok sunni yang mencoba merumuskan tradisi secara teoristis untuk memelihara tradisi untuk berkembang. Begitu kuatnya usaha tersebut sehinga dalam perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran.sunni yang pada awalnya dlebih diposisikan sebagai manhaj Al Fikr berubah mejadi madzhab. Karena itulah kelompok tersebut disebut sebagai kelopok yang dalam memutuskan persoalan Fikih lebih mengutamakan pada penggunaan metodologi dan keunggulan epistimologi tradisi dari pada penggunaan nalar.

GENEOLOGI PEMIKIRAN SUNNI

Pemikiran sunni tidak bisa lepas dari pengaruh sejarah yang setidaknya mengandung tiga dimensi.pertama,pergolakan politik yang terjadi paska pertemuan di Darut Tsagfah bani saidah yang memecah umat islam dan memunculkan konflik yang berkepanjangan.
Kemudian menyebabkan teoritisasi pemikiran sunni yang cenderung menggutamakan keharmonisan stabilitas sebagaisebuah preferensi yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.hal ini telihat dari banyaknya kaidah-kaidah fikih yang menjadi komponen banguan, fikih sunni lebih mengutamakan untuk menghindari sebuah kerusakan daripada untuk mencapai sebuah kemahslahatan,seperti kaidah dar’u Al mafasid muqoddamun ala jalbi Al Mashalikh.
Keberpihakan pada penguasa terlihat jelas akibat kehati-hatian tadi seperti yang tercermin dari pendapatnya Al Mawardi dalam Ahkam Suthaniah yang mengatakan bahwa mendirikan dan menguatkan suatu negara adalah suatu kewajiban yang didasari oleh Wahyu bukan semata-mata di dasari oleh rasio.

Kedua, kuatnya pergulatan intelektual dan perebutan hegemoni pemikiran yang berasal dari perbedaan teologi. Pergulatan intelektual tersebut juga di iringi klaim kebenaran dari setiap kelompok aliran karena adanya perbedaan yang mendasar. Bahkan ada diantara kelompok yang mempunyai perbedaan ekstrim. Misalnya antara paham jabariah yang fatalistis dengan Qodariah yang rasionalisasinya sangat tinggi. Jika dikaitkan dengan kondisi tersebut, maka tumbuhlah pemikiran Sunni sebenarnya lebih terlihat sebagai jalan tengah.

Ketiga, ada pengaruh pemikiran yunani. Masuknya pemikiran Yunani terjadi secara signifikan di masa Abbasiyah. Persamaan tersebut diantaranya adalah pandangan tentang substansi adanya negara atau pemerintahan. Menurut Aristoteles, sebuah pemerintahan pada dasarnya bukan untuk memenuhi tujuan dari negara itu sendiri tetapi untuk manusia yang menjadi warganya secara keseluruhan. Tujuan manusia yang tertinggi menurut Aristoteles adalah kebijakan tertinggi (The hightess Good), yaitu kualitas moral manusia. Sementara itu hampir sama dengan Aristoteles, Ibnu Majah mengatakan bahwa fungsi utama negara adalah untuk membimbing rakyatnya untuk mencapai tujuan hidup. Maka Sunni memperlihatkan sebagai aliran pemikiran yang mau melakukan proses adaptasi dengan pemikiran lain sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.


VISI KERAKYATAN SUNNI

a. Konsep Maslahat

Pemikiran Sunni yang pada awalnya adalah respon terhadap kondisi umat islam yang chaos memang cenderung konservatif, dekat dengan penguasa dan terkesan tidak memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat untuk menyalurkan kepentingannya. Pemikiran Sunni seperti Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Al- Mawardi cenderung memberikan celah bagi terbentuknya kekuasaan yang otoriter. Ada beberapa pemikiran dasar Sunni yang sebenarnya menjadi embrio politik ekonomi yang memihak pada kepentingan rakyat diantaranya adalah konsep amanah, adil dan maslahat. Pertama, konsep maslahat. Bagi pemikir Sunni salah satu tujuan sebuah kekuasaan menurut pemikir Sunni adalah untuk mensejahtarakan rakyat. Dalam hal ini ada sebuah kaidah yang mengatakan stasharruful imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bil maslahah (semua kebijakan pemimpin harus didasari pertimbangan kemaslahatan umat).
Kaitannya dengan upaya membangun Visi kerakyatan fiqih, konsep maslahat setidaknya memberikan tiga kontribusi : pertama, menjaga keberpihakan pada kepentingan umum. Kedua, mengontrol kelompok yang mempunyai otoritas politik, ekonomi maupun intelektual dalam membuat kebijakan publik agar tidak didominasi oleh kepentingan individu atau golongan. Ketiga, menyelaraskan kepentingan syari’at dengan kepentingan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan dunia.

b. Konsep Amanah

Terkait dengan konsep amanah ada dua pemikiran Sunni yang pemikirannya telah populer pada saat ini, Imam Ghazali, Ibnu Timiyah dan al- Mawardi. Mereka sepakat bahwa terbentuknya sebuah negara selain untuk menjamin terpeliharanya syariat dalam kehidupan manusia juga untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dunia manusia.
Pendapat kedua pemikiran tadi memang tidak seekstrim teori kontrak sosial dalam kamus politik konvensional meskipun demikian konsep amanah yang ditawarkan Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali tadi merupakan modal untuk membangun konstruksi fiqih dengan visi kerakyatan yang kuat.

PERKEMBANGAN KONSEP ASWAJA DALAM PMII

Dalam alur besar pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah ada dua pemahaman yang selama ini sering diperdebatkan. Yang pertama Aswaja dipahami sebagai sebuah madzhab yang sudah baku dan transeden. Misalnya dalam fiqh disandarkan pada empt imam yaitu imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, dua imam teologi Maturidi dan Imam Asy’ari dan dua imam tasawuf yaitu Imam Al- Junaidi dan Imam Ghazali.


Konsep yang kedua memandang Aswaja sebagai metodologi berfikir (manhaj). Konsep Aswaja sebgai manhaj fikr lebih adaptif, eklektik dan mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pemahaman Aswaja tersebut dipopulerkan para kiai muda seperti Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siraj dan tokoh-tokoh muda lainnya.


Dalam sejarah PMII, kata independen bisa disebut kata suci. Bagi organisasi kemahasiswaan ini, perdebatan tentang independensi organisasi mempunyai sejarah paling panjang dan tidak habis-habisnya melahirkan kontroversi. Karena persoalan independensi itulah, melalui Mubes di Murnajati (Jatim) 14 juli 1971 PMII menyatakan diri putus hubungan dengan NU (organisasi yang pada awalnya menjadi induk PMII) secara struktural (baca deklarasi Murnajati).
Meskipun demikian dilihat dari pola pikirnya dan landasan teologinya, ada kesamaan antara PMII dan NU, keduanya mencoba menjadi pengawal gerbang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Hanya PMII lebih mencoba mengembangkan Aswaja sebagai Idiologi elektik dan adaptif demi terwujudnya islam rahmatan lil ‘alamin.


Sebagaian besar anak muda PMII yang lahir dari kalangan pesantren meskipun terkesan liberal dalam berfikir tetapi dalam berfikir masih memegang hirarki yudisial dalam sistem bermadzhab begitu mapan. Meskipun demikian penggunaan metodologi keilmuan seperti filsafat, sosiologi, linguistik, tidak bisa dipungkiri sangat dibutuhkan untuk menterjemahkan sumberhukum tersebut dalam konteks kekinian.


Dengan pola pikir seperti itu, tokoh seperti KH. Said Aqiel, Gus Dur dan juga Ulil Abshar sering menjadi referensi bagi anak-anak PMII. Dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, dalam konteks sosial keagamaan Aswaja diterjemahkan sebagai manhaj yang mengakui proses dialektika sejarah pemikiran dan pergerakan. Konsepsi Aswaja yang mengakui pemikiran yang filosofi yang sosiologos tersebut. Hal ini tentunya tidak lepas dari hasil perjuanagn para kiai muda seperti Said Aqiel Siraj. Ia menawar kan definisi baru mengenai Aswaja sebagai manhaj. Secara sempurna definisi Aswaja menurutnya adalah; “ Manhaj Al-fikr Al-Diny al Syiml ‘Ala Syu’un Al Hayat wa Mu’tadlayatiha Al Khaim Ala Asas Al Tawasuh Wal Tawazzun Wal Al i’tidal Wa Al Tasamuh (metode berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan, balancing, jalan tengah dan netral dalam aqidah penengah dalam permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan serta keadilan dan toleransi dalam politik).
Dari paparan diatas sekiranya dapat diambil benang merah bahwa, PMII lebih condong untuk memakai Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dari pada sebagai madzhab.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan klik disini