Sabtu, 21 Februari 2009

Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

Posted by Alumni STAI Kapuas 04.14, under | No comments

Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.

Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.

Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.

Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;

اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا النساء : 48

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”

Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل

“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى

“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”

Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”

Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.

Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.

Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.

Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?

Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.

Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?

Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.

Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.

Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.

Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.

Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.



Rabu, 18 Februari 2009

PMII KAPUAS PERLU KADERISASI

Posted by Alumni STAI Kapuas 06.06, under | No comments

Berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bukan dalam waktu yang ditentukan, akan tetapi PMII berdiri untuk waktu yang berkelanjutan. Kalau dilihat dari umur, PMII menjadi organisasi sudah sangat dewasa, namun kedewasaan yang kini dirasa baik pendiri, alumni dan bahkan kadernya sendiri belum benar-benar mencerminkan sebagai organisasi pengkaderan yang memiliki arah jelas terhadap perjuangan Bangsa. Hal ini dapat dilihat dari minimnya warga PMII yang mampu berbicara pada panggung-panggung politik kebijakan pemerintah. Ini merupakan imbas dari pendistribusian kader yang tidak jelas. Kalaupun harus ditanyakan kepada setiap individu yang menyandang sebutan warga pergerakan tentu tidak sedikit yang akan menghindar dari kenyataan ini dan tak jarang justeru malah saling menyalahkan.

PMII sebagai organisasi pengkaderan, memiliki atur cara pengkaderan yang sudah sangat baik mulai dari MAPABA, PKD, PKL serta pelatihaan-pelatihan lainnya yang pada intinya memberikan pencerdasan terhadap kader. Hal yang sangat miris pada hari ini khususnya PMII Kabupaten Kapuas, yang secara stuktural sudah memiliki struktur yang sempurna mulai PC, dan Komisariat hingga Rayon, yang seharusnya garis koordinasi ini bisa berjalan dengan baik, tapi sadar atau tidak justeru sebaliknya tidak ada sebuah intruksi yang jelas dari masing-masing tingkatan. Dimana semua masih menggunakan system borongan dan disinilah sering terjadi ketumpangtindihan job discripton. Seharusnya ditiap-tiap level struktural baik PC dan Komisariat serta Rayon tahu dan sadar akan TUPOKSI-nya dan bisa menjalankan sebagai komitmen perjuangan PMII.

Kondisi kader pada saat ini mungkin juga merupakan salah satu imbas dari main comot,egoisme ketua yang ingin menang sendiri dan hal yang sering terjadi dan bahkan dapat dikatakan merupakan kader selalu menjadi masalah klasik disetiap pergantian kepengurusan. Melihat kondisi ini, PMII sebagai organisasi pengkaderan tentunya menjadi analisa kedepan bagaimana PMII mampu memenuhi kebutuhan SDM organisasi yang sesuai dengan amanah dan kebutuhan organisasi. Hal yang memang harus segara dibenahi adalah system pendampingan (kadang terlupakan) terhadap kader sebagaimana tujuan dari pengkaderan di PMII. Jadi tidak serta merta seusai digelar acara pengkaderan lantas kader diterlantarkan, artinya harus ada follow up yang jelas dan berkelanjutan. Setidaknya kader bisa diarahkan menurut potensi yang dimiliki. Sehingga kader tidak merasa dibohongi dan hengkang dari PMII.

Sudah saatnya selaku kader pergerakan kita mulai menata kembali Renstra gerakan sebagaimana tuntutan jaman yang semakin tidak mengenal lawan-kawan dan serba bebas. Agar PMII di Bengkulu tidak terlindas roda perputan dunia. Banyak yang meski kita lakukan baik baik di internal maupun eksternal organisasi masih sangat membutuhkan injeksi baik dari senior atau siapapun yang masih punya kepedulian terhadap PMII. Kita selaku warga PMII jika hari kemarin kita berfikir organisasi asal jalan dan terkesan organisasi hanya sebagai tempat rame-rame dan cari keuntungan serta seremonial kader, oleh karena itu sekarang... dan yang jelas kita meski berbuat yang terbaik untuk membangun PMII Kabupaten Kapuas.

Yahya Al banjari (Ketua Eksternal PMII Kapuas)

Sabtu, 14 Februari 2009

Kerudung Gaul

Posted by Alumni STAI Kapuas 04.01, under | No comments




KERUDUNG GAUL
By : Ar_rasyidi | Desember, 12, 2008
Sejak masuknya Islam sekitar 1300 tahun yang lalu ke Nusantara, kerudung sebagai busana Muslimah yang kini menjadi pemandangan sehari-hari adalah fenomena baru di Indonesia. Busana Muslimah sebagai sebuah gejala kelompok atau gerakan sosial keagamaan baru muncul pada tahun 1980an. Sebelumnya, Muslim perempuan Indonesia hanya mengenal “kerudung kapstok” yaitu busana muslimah tradisional yang populer dipakai di kalangan pesantren, madrasah, majlis taklim dan organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Hingga tahun 2006 ini, sosok busana Muslimah Indonesia mengalami beberapa perkembangan yang menarik untuk dicermati dari aspek model, bentuk dan ruhnya.
Kerudung Kapstok

Hingga akhir tahun 1970an, model busana Muslimah Indonesia adalah kerudung kapstok yang hanya cukup mengait di kepala, bahannya kain tipis sementara sebagian rambut, leher dan bagian atas dada terbuka. Pakaian kebawahnya adalah kebaya dan pemakainya adalah ibu-ibu. Model ini tidak mentradisi di kalangan gadis dan remaja. Model kapstok ini khas pakaian para perempuan di lingkungan pendidikan dan organisasi Islam seperti pesantren, madrasah, majlis-majils taklim dan ormas-ormas Islam perempuan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Isryad, Persatuan Islam dan lain-lain. Yang pupoler di luar lingkungan itu adalah rok pendek dan tanpa kerudung sebagai pakaian umum ala Barat.

Kerudung Ideologis

Memasuki tahun 1980an, wajah busana perempuan Muslim berubah total. Busana Muslimah mengalami perubahan bentuk dan model. Perintisnya adalah para perempuan aktivis Islam di perkotaan, mahasiswi, dan para pelajar. Cukup mengejutkan, secara tiba-tiba, di awal tahun 1980an, berbagai kelompok perempuan pelajar dan mahasiswa di perkotaan mengenakan busana Muslimah dengan kerudung yang tertutup rapi dengan rambut sama sekali tidak kelihatan. Lebih dari itu, generasi baru ini bangga menenteng Al-Qur’an di bis kota, di sekolah dan kampus-kampus, di mall-mall, bioskop dan tempat hiburan dan tempat-tempat umum lainnya. Bila sebelumnya pakaian kerudung identik dengan tradisionalisme, kultur desa dan santri yang terbelakang, tetapi pada tahun 1980an pemakainya adalah para pelajar dan mahasiswa dan berbaur akrab memenuhi simbol-simbol modernitas: mall-mall, departemen store dan bioskop. Darimana datangnya “spesies baru” ini?
Revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah pemicunya. Sejak itulah booming busana Muslimah meledak di Indonesia. Revolusi Iran berdampak sangat kuat terhadap kalangan terpelajar Islam di perkotaan. Umat Islam selama ini merasakan bahwa mereka berada dalam hegemoni (dominasi politik dan kebudayaan) Barat. Kebangkitan Islam dan suksesnya revolusi Islam Iran, menjadi pendorong psikologis yang besar yaitu terbentuknya harga diri, rasa hormat, kebanggaan dan identitas baru. Para perempuan Muslim di Indonesia dan Malaysia, terutama para mahasiswa aktifis kampus seperti dikejutkan dan disadarkan oleh wanita-wanita Iran. Betapa membanggakannya wajah-wajah perempuan Iran yang cantik-cantik tapi membungkus tubuhnya dengan busana Muslimah yang tertutup rapat, tetapi menenteng senjata dan berhasil mengusir dominasi dan pengaruh Amerika Serikat dari negaranya. Jilbab atau busana Muslimah di Barat dipandang sebagai simbol represi, ketertinggalan dan konservatisme kaum perempuan, tetapi jutaan wanita Iran mengenakannya dengan penuh kebanggaan. Setelah revolusi, penampilan para wanita Iran secara terus-menerus di shoot media Barat dan ini memberikan dampak yang sangat besar dalam revolusi busana Muslimah.
Walaupun, tentu saja, faktor revolusi Iran ini bukan faktor satu-satunya atas maraknya fenomena busana Muslimah di Indonesia tahun 1980an, tetapi tidak bisa dihindari telah menjadi suntikan kuat bagi peneguhan harga diri, percaya diri dan identitas baru perempuan Islam Indonesia. Pasca revolusi, gambar-gambar perempuan Iran yang berkerudung cantik-cantik menghipnotis kaum perempuan dan para pelajar Islam Indonesia. Revolusi Islam Iran menjadi fasilitator munculnya model kerudung baru yang lebih sesuai dengan syariat Islam. Berawal dari masjid Salman ITB kemudian semarak di kalangan pelajar, mahasiswa dan aktifis Islam di Bandung dan kemudian melalui jaringan masjid kampus menyebar ke berbagai kota seluruh Indonesia tahun 1990an. Ada empat hal yang melekat dengan model busana Muslimah sebagai ciri khas era ini: Pertama, pemakaiannya memenuhi kriteria norma Islam. Kedua, pemakaiannya didasari kesadaran beragama. Mereka yang tergerak hatinya memakai busana Muslimah pada tahun-tahun tersebut karena didorong oleh kesadaran beragama yaitu perasaan ingin lebih shaleh dan beragama secara benar. Islamisasi busana sangat ekstensif pada periode itu dalam konteks era kebangkitan Islam di Indonesia.Ketiga, kemunculannya merupakan gelombang perlawanan kultural terhadap hegemoni asing, dan dengan demikian, keempat, bersifat ideologis.
Kerudung Kelas Menengah

Memasuki tahun 1990an fenomena busana Muslimah menyebar semakin luas lagi. Pada periode ini, busana Muslimah masuk ke berbagai kelompok politik, pengusaha, artis selebritis, seniman, kantor-kantor pemerintah dan swasta, lembaga politik, kaum profesional dan lainnya. Pada periode ini, busana Muslimah menjadi identitas kelas menengah, sebuah kelas sosial yang mengalami kemakmuran ekonomi. Bila tahun 1970an, pemakai busana kerudung adalah ibu-ibu pengajian di desa-desa, pesantren dan sangat bernuansa tradisional, tahun 1990an kita menyaksikan kerudung dipakai oleh perempuan berkelas dengan mengendarai mobil mewah, dipakai oleh pengusaha, artis selebritis, pejabat negara, kaum profesional, aktifis sosial politik dan seterusnya. Pada dekade ini pula bermunculan para perintis parancang busana Muslimah berkelas bermunculan seperti Anne Rufaidah, Ida Royani, Ida Leman, Dewi Motik Pramono, Neno Warisman dan lain-lain. Butik-butik mahal pun bermunculan seperti Shafira di Bandung dan Yayasan Karima di Jakarta dengan harga ratusan hingga jutaan rupiah. Mereka ini membentuk lingkungan simbolik baru sebagai kelas menengah Muslim. Tahun 1990an, Islam mengalami mobilisasi citra dari tradisional desawi ke modern perkotaan.

Kerudung Gaul

Dekade tahun 2000an, pemakaian busana kerudung hampir merata di seluruh Indonesia. Belakangan ini, sangat mudah menemukan perempuan berkerudung di berbagai tempat umum. Semudah melihat mobil, dimana-mana ada. Perempuan berkerudung mudah ditemukan di stasiun, terminal, bioskop, tempat hiburan, lapangan olah raga, mall-mall, lembaga politik, kampus, tempat kerja, kantor-kantor, kelompok arisan, pasar dan bahkan –ini yang paling menarik– di kolam renang. Sebuah pemandangan sosial yang tidak terbayangkan pada tahun 1980an. Bila periode 1980an adalah periode perintisan, periode 1990an adalah periode peneguhan dan perluasan, maka periode 2000 kesini adalah periode kultural. Pasca tahun 2000, kerudung sudah menjadi kultur masyarakat Muslim Indonesia.
Konsukuensinya, ketika sebuah fenomena berubah menjadi tradisi atau kultur, lunturlah nilai dan esensinya yang sebelumnya melekat menafasi konteks kemunculan gejala tersebut. Dalam kultur, orang melakukan sesuatu karena lingkungan, kebiasaan dan norma sosial. Ketika kerudung menjadi kultur yang ditampilkan mayoritas masyarakat, ciri semangat keagamaan yang sebelumnya mengikat kelompok menjadi pudar. Motivasi agama bercampur dengan motivasi lingkungan dalam masyarakat. Di sisi lain, tren globalisasi menelikung kuat seluruh lapisan masyarakat. Sebagai lapisan usia yang sedang mencari identitas, remaja adalah kelompok yang paling mudah terpengaruh tren tersebut tak terkecuali remaja-remaja Muslim yang hidup dalam lingkungan nilai-nilai keislaman. Dari lapisan sosial remaja inilah muncul sebuah tren baru gaya berkerudung yang sangat khas dan tidak ada presedennya: kerudung gaul!!
Kerudung gaul adalah model yang mengawinkan dua gejala: keagamaan di satu sisi dan tren sosial global di sisi lain. Sebagai perempuan Islam, mereka ingin memakai busana Muslimah di satu sisi, tetapi ingin tampil seksi dan menarik di sisi lain. “Seksi” dan “menarik” ini adalah pengaruh kultur Barat, konteksnya adalah pameran diri (show-off, exhibitionism) untuk konsumsi publik laki-laki dan pasar ekonomi. Dalam Islam, sebagai makhluk yang dihargai, perempuan dilarang keras berpamer-pamer seperti itu. Yang ada justru perintah menjaga dan menutup diri agar terhormat (banyak hadits yang mengutuk perempuan yang memakai baju tipis, ketat atau membuka aurat di depan umum dsb). Tapi, karena perempuan-perempuan muda hidup di kota-kota besar dalam lingkungan kultur global yang sangat westernized, sementara pendidikan agamanya kurang, maka “seksi” dan “menarik” tetap menjadi pilihan banyak perempuan muda. Seksi dan menarik adalah ikon-ikon kecantikan sekuler yang selama ini membentuk cara berfikir para wanita muda dan remaja. Maka lihatlah, kita menyaksikan sebuah “spesies baru” generasi perempuan Islam yang “berbusana Muslimah” sangat khas: ketat mencetak badan, lekuk-lekuk tubuh ditonjolkan, perut dan pinggang dipamerkan, kadang-kadang (maaf!) celana dalam bagian belakang kelihatan sementara kepalanya terbungkus kerudung. Model “busana Muslimah” generasi ini persis seperti disinyalir dalam hadits Nabi: “berpakaian tetapi telanjang!” Kaum pria yang matanya kreatif, jangan khawatir, Anda masih berpeluang menikmati kepuasan birahi dari kelompok perempuan berkerudung seperti ini.
Belakangan busana Muslimah kultural juga menjadi sangat populer di kalangan ibu-ibu. Tanpa disadari, di berbagai masyarakat, ibu-ibu memakai busana Muslimah sebagai pakaian formal untuk berbagai acara: pertemuan-pertemuan resmi, perkumpulan, arisan, pertemuan PKK dan Darma Wanita, acara sosial kemasyarakat, acara keagamaan, bahkan untuk tampil dalam panggung kesenian dan berjoget dangdut dalam acara Agustusan. Inilah kerudung gaul ibu-ibu!! Begitu populernya, sering ibu-ibu merasa malu dan tidak percaya diri bila tidak mengenakan kerudung dalam acara-acar diluar rumah karena mayoritas lingkungannya memakainya. Dalam berbagai acara seperti rapat, pelatihan, pertemuan resmi dan tidak resmi, sungguh unik dan menarik, kerudung sudah menjadi “the unwritten agreement” (kesepakatan tidak tertulis). Dalam sebuah acara pelatihan guru-guru se-Kota Cilegon Banten yang dihadiri oleh 150 peserta, pada bulan Oktober yang lalu, penulis mengamati tak seorang pun dari sekitar 120 peserta perempuan yang tidak mengenakan kerudung. Lucu, karena selain suasana seperti pengajian, pelatihan tersebut dibiayai oleh lembaga donor Amerika Serikat yaitu USAID yang di mata masyarakat Indonesia, citra Amerika sangat buruk karena dianggap memusuhi Islam.
Diluar “kerudung kesadaran,” banyak ibu-ibu belakangan ini menganggap bahwa memakai kerudung adalah sebuah bentuk gaul! Dengan demikian, desakralisasi kedurung tidak hanya ditampilkan oleh kalangan remaja yang mencari identitas tetapi juga oleh ibu-ibu gaul!! Kerudung gaul ibu-ibu ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Dipakai bukan atas dasar kesadaran agama melainkan pengaruh lingkungan (tren sosial dan mode),
2. Dipakai dalam acara-acara pertemuan tetapi ditanggalkan dalam penampilan sehari-hari. Dalam menghadiri acara-acara resmi atau pertemuan mereka rapih berkerudung, tapi dalam penampilan sehari-harinya kembali seadanya bahkan seksi,
3. Tanpa ruh dan sakralitas karena mereka juga memakainya untuk berjoget dalam acara-acara kesenian dan panggung hiburan di lingkungannya (masyarakat, sekolah dan tempat kerja). Media massa menyumbang pengaruh besar dalam pembentukan kultur kerudung gaul ini melalui acara-acara busana dan penampilan para artis. Pengaruh media pada pembentukan kultur kerudung gaul ini adalah yang diekspos media lebih pada penampilan lahiriahnya yaitu mode dan kecantikan, bukan sentuhan hati yaitu kesadaran untuk menutup aurat seterusnya sebagai sebuah kesadaran beragama.


Refleksi

Kita boleh bersyukur atas fenomena kerudung yang sangat semarak dan sudah membudaya. Apapun, fenomena kerudung menunjukkan semakin meluasnya pengaruh nilai-nilai Islam dalam berbusana. Busana muslimah sudah menjadi pilihan mayoritas perempuan Muslim Indonesia. Tetapi, kita juga belum bisa berkesimpulan bahwa semarak kerudung berarti semakin relijiusnya perempuan Indonesia. Berkat dakwah yang semakin ekstensif, kesadaran agama di satu sisi memang terjadi peningkatan, tetapi tidak bisa diukur oleh semaraknya kerudung. Persoalannya, banyak gadis remaja dan ibu-ibu memakainya karena tren lingkungan dan pergaulan sehingga sering tidak match antara simbol pakaian dengan sikap dan perilaku sehari-hari. Kita bersyukur kerudung semakin membudaya tapi juga kita tersenyum simpul melihatnya lucunya kerudung gaul. Yang belum berkerudung, gaul doong…!!

Rabu, 11 Februari 2009

Posted by Alumni STAI Kapuas 15.08, under | No comments


langsungan aja kalo mau caranya gene :

1. siapin lagu kamu ( mp3 kamu ) untuk di upload nantinya
( dah tau carane u[load kan kalo blm tau kamu harus baca tutor ku sebelume to , biar ngerti )
2. buka situs ini myflashfetish
3. langsung meluncur ke menu yg paling atas tulisanya MP3 Paylist
4. pilih model player kesukanmu
5. atur warnanya atur background nya sesuka mu di bagian CUSTOMIZE YOUR DESIGN
6. kalo dah di pojok kanan bawah ada tulisan upload kan di bagian ADD SONG itu lho....
7. kasih url lagu kamu yg dah di upload tadi dan title nya
8. ya dah to ambil aja codenya di SAVE(GET HTML)
9. kalo belum register / daftar setelah klik SAVE(GET HTML) kamu disuruh daftar . pasti
ikutin aja ampe selese
10. kalo dah ya get code ne to... harapmaklum ya tulisan get codenya kecil
cari aja ya sendiri...

kalodah dapet codenya :
1. loginblog mu
2. masuk ke menu layout
3. add GADGET
4. cari bagian javascript/HTML
5. masukindisitu kodenya
6, save aja

Senin, 09 Februari 2009

Jalan Kaki bisa Taklukkan 9 penyakit!

Posted by Alumni STAI Kapuas 06.55, under | No comments

STUDI dalam beberapa tahun terakhir semakin mengukuhkan bahwa berjalan tergopoh-gopoh dan bukan jalan santai memang memberi banyak manfaat bagi kesehatan kita. Inilah sembilan manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas jalan kaki.


(1) Serangan Jantung.
Pertama-tama tentu menekan risiko serangan jantung. Kita tahu otot jantung membutuhkan aliran darah lebih deras (dari pembuluh koroner yang memberinya makan) agar bugar dan berfungsi normal memompakan darah tanpa henti. Untuk itu, otot jantung membutuhkan aliran darah yang lebih deras dan lancar. Berjalan kaki tergopoh-gopoh memperderas aliran darah ke dalam koroner jantung. Dengan demikian kecukupan oksigen otot jantung terpenuhi dan otot jantung terjaga untuk bisa tetap cukup berdegup.

Bukan hanya itu. Kelenturan pembuluh darah arteri tubuh yang terlatih menguncup dan mengembang akan terbantu oleh mengejangnya otot-otot tubuh yang berada di sekitar dinding pembuluh darah sewaktu melakukan kegiatan berjalan kaki tergopoh-gopoh itu. Hasil akhirnya, tekanan darah cenderung menjadi lebih rendah, perlengketan antarsel darah yang bisa berakibat gumpalan bekuan darah penyumbat pembuluh juga akan berkurang.

Lebih dari itu, kolesterol baik (HDL) yang bekerja sebagai spons penyerap kolesterol jahat (LDL) akan meningkat dengan berjalan kaki tergopoh-gopoh. Tidak banyak cara di luar obat yang dapat meningkatkan kadar HDL selain dengan bergerak badan. Berjalan kaki tergopoh-gopoh tercatat mampu menurunkan risiko serangan jantung menjadi tinggal separuhnya.

(2). Stroke.
Kendati manfaat berjalan kaki tergopoh-gopoh terhadap stroke pengaruhnya belum senyata terhadap serangan jantung koroner, beberapa studi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tengok saja bukti alami nenek-moyang kita yang lebih banyak melakukan kegiatan berjalan kaki setiap hari, kasus stroke zaman dulu tidak sebanyak sekarang. Salah satu studi terhadap 70 ribu perawat (Harvard School of Public Health) yang dalam bekerja tercatat melakukan kegiatan berjalan kaki sebanyak 20 jam dalam seminggu, risiko mereka terserang stroke menurun duapertiga.


(3). Berat badan stabil.
Ternyata dengan membiasakan berjalan kaki rutin, laju metabolisme tubuh ditingkatkan. Selain sejumlah kalori terbuang oleh aktivitas berjalan kaki, kelebihan kalori yang mungkin ada akan terbakar oleh meningkatnya metabolisme tubuh, sehingga kenaikan berat badan tidak terjadi.

(4). Menurunkan berat badan.
Ya, selain berat badan dipertahankan stabil, mereka yang mulai kelebihan berat badan, bisa diturunkan dengan melakukan kegiatan berjalan kaki tergopoh-gopoh itu secara rutin. Kelebihan gajih di bawah kulit akan dibakar bila rajin melakukan kegiatan berjalan kaki cukup laju paling kurang satu jam.

(5). Mencegah kencing manis.
Ya, dengan membiasakan berjalan kaki melaju sekitar 6 km per jam, waktu tempuh sekitar 50 menit, ternyata dapat menunda atau mencegah berkembangnya diabetes Tipe 2, khususnya pada mereka yang bertubuh gemuk
Sebagaimana kita tahu bahwa kasus diabetes yang bisa diatasi tanpa perlu minum obat, bisa dilakukan dengan memilih gerak badan rutin berkala. Selama gula darah bisa terkontrol hanya dengan cara bergerak badan (brisk walking), obat tidak diperlukan. Itu berarti bahwa berjalan kaki tergopoh-gopoh sama manfaatnya dengan obat antidiabetes.

(6). Mencegah osteoporosis.
Betul. Dengan gerak badan dan berjalan kaki cepat, bukan saja otot-otot badan yang diperkokoh, melainkan tulang-belulang juga. Untuk metabolisme kalsium, bergerak badan diperlukan juga, selain butuh paparan cahaya matahari pagi. Tak cukup ekstra kalsium dan vitamin D saja untuk mencegah atau memperlambat proses osteoporosis. Tubuh juga membutuhkan gerak badan dan memerlukan waktu paling kurang 15 menit terpapar matahari pagi agar terbebas dari ancaman osteoporosis.

Mereka yang melakukan gerak badan sejak muda, dan cukup mengonsumsi kalsium, sampai usia 70 tahun diperkirakan masih bisa terbebas dari ancaman pengeroposan tulang.

(7). Meredakan encok lutut.
Lebih sepertiga orang usia lanjut di Amerika mengalami encok lutut (osteoarthiris) . Dengan membiasakan diri berjalan kaki cepat atau memilih berjalan di dalam kolam renang, keluhan nyeri encok lutut bisa mereda. Untuk mereka yang mengidap encok lutut, kegiatan berjalan kaki perlu dilakukan berselang-seling, tidak setiap hari. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada sendi untuk memulihkan diri.

Satu hal yang perlu diingat bagi pengidap encok tungkai atau kaki: jangan keliru memilih sepatu olahraga. Kita tahu, dengan semakin bertambahnya usia, ruang sendi semakin sempit, lapisan rawan sendi kian menipis, dan cairan ruang sendi sudah susut. Kondisi sendi yang sudah seperti itu perlu dijaga dan dilindungi agar tidak mengalami goncangan yang berat oleh beban bobot tubuh, terlebih pada yang gemuk.

Bila bantalan (sol) sepatu olahraganya kurang empuk, sepatu gagal berperan sebagai peredam goncangan (shock absorber). Itu berarti sendi tetap mengalami beban goncangan berat selama berjalan, apalagi bila berlari atau melompat. Hal ini yang memperburuk kondisi sendi, lalu mencetuskan serangan nyeri sendi atau menimbulkan penyakit sendi pada mereka yang berisiko terkena gangguan sendi.

Munculnya nyeri sendi sehabis melakukan kegiatan berjalan kaki, bisa jadi lantaran keliru memilih jenis sepatu olahraga. Sepatu bermerek menentukan kualitas bantalannya, selain kesesuaian anatomi kaki. Kebiasaan berjalan kaki tanpa alas kaki, bahkan di dalam rumah sekalipun, bisa memperburuk kondisi sendi-sendi tungkai dan kaki, akibat beban dan goncangan yang harus dipikul oleh sendi.

(8) Depresi.
Ternyata bergerak badan dengan berjalan kaki cepat juga membantu pasien dengan status depresi. Berjalan kaki tergopoh-gopoh bisa menggantikan obat antidepresan yang harus diminum rutin. Studi ihwal terbebas dari depresi dengan berjalan kaki sudah dikerjakan lebih 10 tahun.

(9). Kanker.
Juga dapat dibatalkan muncul bila kita rajin berjalan kaki, setidaknya jenis kanker usus besar (colorectal carcinoma). Kita tahu, bergerak badan ikut melancarkan peristaltik usus, sehingga buang air besar lebih tertib. Kanker usus dicetuskan pula oleh tertahannya tinja lebih lama di saluran pencernaan. Studi lain juga menyebutkan peran berjalan kaki terhadap kemungkinan penurunan risiko terkena kanker payudara.




Jumat, 06 Februari 2009

Rahasia Sang Benalu

Posted by Alumni STAI Kapuas 06.20, under | No comments

Benalu memang tak tahu malu! Sudah “ngontrak” gratis, masih tega menyedot makanan si “pemilik rumah”, sampai-sampai inangnya gering. Untungnya, benalu cukup andal mengobati beragam penyakit manusia, termasuk kanker. Kalau tidak, …! Ya, kalau tidak, benalu tentu akan terus-menerus jadi tumbuhan terkutuk, di dunia maupun akhirat. Sebab, seumur-umur ia akan dikenang sebagai tanaman yang kerjanya melulu bikin repot jagad manusia dan jagad flora, tak tahu diri, pagar makan tanaman, dan sejuta sumpah serapah lainnya.


Sebelum lebih jauh membahas “sesuatu” yang dimiliki benalu, mari kita berkenalan dulu dengan keluarga besarnya. Meski nama benalu sudah tak asing lagi, apalagi sering dipropagandakan di buku-buku pelajaran sekolah sebagai tumbuhan berstereotipe negatif, kenyataannya tak semua orang (terlebih mereka yang tinggal di kota-kota besar) akrab dengan tanaman “pengganggu” ini.

Biji peluru senapan

Aslinya, benalu dikenal sebagai penggemar tumbuhan perdu. Di situ ia biasa membentuk miliu (lingkungan sekitar) yang memberikan kesan rimbun, tidak teratur, dan kurang terawat.

Untuk memergoki benalu tak sulit. Anda bisa menemukannya di sekitar hutan, tepi jalan, kebun, bahkan tegalan. Tanaman ini berkembang biak dengan cara generatif dan vegetatif (cara pertama, lewat penyebaran biji, dianggap lebih baik dibandingkan dengan cara kedua).

Dalam Flora Malesiana vol. 13 (1997) ditegaskan, ada dua kelompok besar benalu, yakni dari keluarga Loranthaceae dan Viscaceae. Famili Loranthaceae punya 23 marga (dengan 200 jenis tanaman), di antaranya marga Dendrophthoe (21 jenis) dan marga Scurrula (8 jenis). Sedangkan Viscaceae punya empat marga (26 jenis).

Begitu banyaknya jenis benalu, dalam tulisan ini akan diilustrasikan beberapa jenis saja. Dendrophthoe pertandra (L) Miq., misalnya, pertumbuhan akarnya intensif menjalar pada inang, acap kali tumpang tindih. Warna akarnya kecokelatan, dan bila menyerap air, akan berubah warnanya menjadi kehijauan dengan pelekat kuat. Batangnya tegak, agak panjang, bulat, rapuh, berwarna kusam.

Benalu satu ini banyak cabangnya yang panjang-panjang dan membentuk banyak ranting dengan ruas tua membesar. Daunnya berbentuk lanset, elips atau bulat panjang, kaku, rapuh, warnanya hijau muda sampai hijau tua. Bunga kecilnya berbentuk bokor, ramping, dengan mahkota berkelir kuning, merah atau oranye dalam tandan di ketiak yang masih menempel atau sudah gugur.

Sementara buahnya mirip buni, sewaktu muda berwarna hijau, tapi setelah tua berubah jadi kuning. Bijinya sebesar biji pepaya, bentuknya seperti peluru senapan angin, terdiri atas dua bagian, yaitu lembaga berwarna hijau dan bagian lain berwarna putih, diliputi oleh gelatin. Jenis ini biasanya diberi nama sesuai nama inang yang diparasitinya, seperti benalu teh, benalu mangga, benalu soka, dan lain-lain.

Pertumbuhan benalu jenis ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hara yang dapat dimanfaatkan dari tanaman inangnya, karena ia memiliki haustoria (akar isap). Akar isap inilah yang menusuk masuk ke dalam jaringan induk semangnya untuk mengisap hara, garam mineral, serta airnya. Ia juga memiliki hijau daun, sehingga dapat berasimilasi, membentuk karbohidrat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sebaliknya, benalu marga Viscum tidak membentuk haustoria di luar tanaman inang, tetapi pertumbuhannya ke dalam, mengisap sari makanan dari benalu yang ditumpanginya, seperti Viscum articulatum yang menumpang pada Dendrophthoe pentandra. Jenis lainnya, Viscum articulatum Burm. F, akarnya tidak tampak dari luar. Batangnya bulat, tegak, rapuh, berwarna hijau tua. Daunnya pipih, pendek, berwarna hijau. Pada pertumbuhan selanjutnya, daun akan menjadi ranting. Bijinya bergerombol pada tiap ruas cabang, ranting atau daun, bentuknya kecil dan warnanya putih seperti kapas. Buahnya bulat kecil, bila telah tua sebesar merica, berwarna hijau keputih-putihan. Bijinya pun kecil, pipih, warna hijau, berflagela pendek dilapisi sedikit gelatin. Jenis ini sering digunakan sebagai obat untuk meredakan kejang, peluruh kencing (diuretik), antiwasir, penguat jaringan tubuh, dan antihipertensi.

Sejak abad ke-18

Sebagai obat tradisional, masyarakat di berbagai negara sebenarnya sudah lama memanfaatkan benalu untuk menyembuhkan beragam penyakit. Seperti bisa dibaca dari naskah lawas, “Journal of the Asiatic Society of Bengal” (1887), keberadaan dan khasiat benalu ternyata sudah dikenal luas oleh orang Indonesia sejak lama, khususnya di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

Faktanya, catatan-catatan etnobotani menunjukkan, di Jawa pada tahun 1968 benalu sudah digunakan sebagai obat penyakit cacar air, cacar api, diare, cacing tambang, tumor, dan kanker. Pada 1978 penelitian etnobotani juga memberitakan, benalu teh kering yang direbus airnya dapat diminum untuk menyembuhkan penyakit kanker rahim dan jenis kanker lainnya. Sedangkan pada tahun 1980, giliran benalu sawo yang dipercaya dapat menyembuhkan tumor payudara.

Lalu pada 1983 ditemukan fakta bahwa benalu jeruk nipis, benalu beringin, dan benalu teh dengan ramuan tertentu dapat menghalau tumor. Setahun kemudian, penelitian etnobotani sekali lagi menemukan fakta di lapangan, air hasil rebusan benalu dan daun tapak dara (Catharanthus roseus), jika diminum, ternyata dapat mengobati kanker.

Tahun 1995, penulis sempat mengunjungi Desa Gentasari, Kroya, Cilacap, untuk mengamati maraknya penggunaan benalu sebagai ramuan jamu di daerah itu. Dari hasil pengamatan itu, penulis sempat menemukan seorang penderita kanker usus yang berhasil sembuh dari penyakitnya, setelah meminum rebusan benalu mangga.

Tak hanya manjur di Indonesia, khasiat benalu juga dipercaya oleh masyakat Malaysia, Filipina, dan Papua Nugini. Di negara-negara itu, benalu juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Di Indocina, daun benalu Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. sering diramu dengan teh, lalu diminum sebagai obat flu. Sedangkan larutan daun benalu Scurrula ghracififolia digunakan untuk mengobati rematik, bisul-bisul, serta memperkuat pertumbuhan gigi dan rambut. Jenis benalu lainnya, Viscum articulatum Burm. F direbus dan diminum dua kali sehari untuk mengobati bronkitis. Di Cina semua bagian dari benalu Scurrula parasitica, yang sudah dikeringkan, digunakan untuk memperkuat ginjal, menenangkan uterus sewaktu hamil, menguatkan tulang, mengurangi pembengkakan, menghilangkan rasa sakit punggung maupun lutut, serta menurunkan tekanan darah tinggi.

Orang Cina juga memanfaatkan benalu untuk pengobatan kelainan hati dan merangsang pertumbuhan rambut. Sedangkan Viscum articulatum dipercaya membantu mengatasi kelainan hati dan penyakit TBC (tuberkulosis).

Apa sebenarnya rahasia benalu, sehingga banyak dimanfaatkan orang sebagai obat beragam penyakit?

Menurut Richter dalam Phytochemistry No. 31 (1992), benalu Loranthaceae dan Viscaceae mengandung banyak flavonoid, seperti chalcones, flavanones, c-glycoflavonols dan flavan-3-ols. Flavonoid sendiri berfungsi sebagai pelindung si benalu dari kerusakan yang disebabkan oleh pengaruh sinar ultraviolet dan bertanggung jawab pada warna bunga, buah, dan daun.

Dalam ilmu farmasi, flavaoid dikenal sebagai senyawa antiradang, antioksidan, pereda sakit (analgesik), antivirus, anti-HIV, mencegah keracunan hati, antikelebihan lemak, merangsang kekebalan tubuh, sebagai vasodilator (memperlancar aliran darah), mencegah penggumpalan darah, antialergi, dan antikanker.

Keberadaan flavanoid itu didukung oleh zat-zat lain yang juga terdapat pada benalu, seperti proline, hydroproline, myo-inositol, dan chiroinosotils. Sementara benalu famili Loranthaceae diyakini banyak mengandung tanin. Senyawa ini terdapat pada tanaman benalu, berkat hasil kerja sama asam gallic dengan catechin, yang menyebabkan padatnya kadar tanin pada daun dan tangkai batang. Dalam ilmu farmasi, tanin kerap digunakan sebagai obat diare, penawar racun, antivirus, antikanker, dan anti-HIV.

Di balik dosa besarnya pada tumbuhan lain, benalu ternyata berpotensi menjadi bahan penyembuh luar biasa. Seperti manusia, benalu juga punya sisi baik dan sisi buruk!

Jangan Lebih 10 Gram

Pil atau kapsul bikinan pabrik yang dibuat khusus untuk manusia saja ada aturan pakainya. Apalagi yang namanya obat tradisional semacam benalu.

Zaman dulu - sekarang pun masih sering dipraktikkan di desa-desa - ramuan benalu biasanya ditempatkan, direbus, atau diolah di dalam wadah yang terbuat dari tanah liat, semisal kendi.

Penggunaan tanah liat itu dimaksudkan untuk menetralkan racun yang ada pada benalu. Dengan kata lain, pemanfaatan tumbuhan benalu memang tidak sembarangan, dan tidak semudah seperti memanfaatkan herbal-herbal penyembuh lainnya. Ramuan benalu juga bisa diseduh beberapa kali (minimal dua kali), karena khasiat benalu tak mudah hilang hanya dengan sekali seduh.

Namun disarankan, dosis seduhan itu antara 5 - 10 g saja. Jangan sampai melebihi 10 g. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih meyakinkan, silakan bertanya pada ahli etnobotani atau ahli fitokimia terdekat di kota Anda. Anda yang bertempat tinggal di Jakarta, misalnya, bisa menghubungi Puslitbang Botani LIPI, di Bogor, Jawa Barat.

Kamis, 05 Februari 2009

Amalan, Hizib dan Azimat

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.30, under | No comments

Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

'Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu'min: 60)

Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:" كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan." (HR Muslim [4079]).

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut." Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman meoggunakan azimat, misalnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “'Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:

"Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya." (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181)

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

A-Marruzi berkata, ''Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu'awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas)." Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, "Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil." Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst." (Al-Adab asy-Syar'iyyah wal Minah al-Mar'iyyah, juz II hal 307-310)

Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.

1. Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW

2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.

3. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja." (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).

Berdzikir dengan Pengeras Suara

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.29, under | No comments

Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.

Berdzikir Memakai Tasbih

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.28, under | No comments

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.

Fasal tentang Bid'ah (2)

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.27, under | No comments

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)

Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

Fasal tentang Bid'ah (1)

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.26, under | No comments

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.

Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).

Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:

بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ

Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ

“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :

نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.

Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :

كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :

كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.


Dzikir dan Syair sebelum Shalat Berjama’ah

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.24, under | No comments

Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ


Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa'i [709] dan Ahmad [20928]).

Meogomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).

Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.

Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.

Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.

Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama'ah di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan deogan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-masing.

Adzan Jum’at Dua Kali

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.23, under | No comments

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.

Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :

عَنْ سَائِبٍ قَالَ, سَمِعْتُ السَائِبَ بنَ يَزِيْدٍ يَقُوْلُ إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمْعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الجُمْعَةِ عَلَى المِنْبَرِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الجُمْعَةِ بِالأَذَانِ الثَّالِثِ فَأَذَانَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَالِكَ

Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)

Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :

وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الفَجْرِ وَآخرِ بَعْدَهُ فَإِن اقَتَصَرَ فَالأَوْلَى بَعْدَهُ, وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الخَطِيْبِ المِنْبَرَ وَالأَخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ

"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :

ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأَِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ

"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)

Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu a’lam bis-shawab.

Apakah Wajib Mengeraskan Bacaan ’Basmalah’ dalam Shalat Berjamaah?

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.22, under | No comments

Bagaimana hukum membaca basmalah atau lafadz

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

dalam Surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya? Sebelum menjawab pertanyaan ini akan dibahas mengenai status surat al-Fatihah dalam shalat.

Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW berikut ini:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ صَامِتٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW menyampaikan padanya bahwa tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca suratt al-Fatihah. (HR Muslim)

Sementara basmalah merupakan ayat dari Surat al-Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa membaca basmalah berdasarkan dengan firman Allah SWT :

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung. (QS al-Hijr: 87)

Yang dimaksud dengan ”tujuh ayat yang berulang-ulang”' adalah Surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu terdiri dari ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah basmalah. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُمُّ الْقُرْآنِ وَ أُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِ

Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasalullah SAW bersabda, ”alhamdu lillahi rabbil 'alamin” merupakan induk Al-Qur’an, pokoknya al-Kitab, serta Surat as-Sab'ul Matsani. (HR Abu Dawud)

Berdasarkan dalil ini, Imam Syafi'i RA mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka raka' at shalatnya tidak sah.

قَالَ الشَّافِعِيُّ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الآيَاتُ السَّابِعَةُ فَإِنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا لَمْ تُجْزِهِ الرَّكْعَةُ الَّتِيْ تَرَكَهَا فِيْهَا

Imam Syafi'f RA mengatakan bahwa basmalah merupakan tujuh ayat dari surat al-Fatiاah. Apabila ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka raka'atnya tidak cukup. (Al-Umm, juz I, haL 129)

Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka basmalah ini juga dianjurkan untuk dikeraskan ketika seseorang membaca al-Fatihah dalam shalatnya, sesuai dengan Hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ بِالْبَسْمَلَةِ

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW (selalu) mengeraskan suaranya ketika membaca basmalah (dalam shalat). (HR Bukhari)

Menjelaskan hadits ini, 'Ali Nayif Biqa'i dalam tahqiq kitab Idza Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi karangan Syeikh as-­Subki menjelaskan:

"Ibn Khuzaimah berkata dalam kitab Mushannaf-nya menyatakan, pendapat yang menyatakan sunnah mengeraskan basmalah merupakan pendapat yang benar. Ada hadits dari Nabi SAW dengan sanad yang muttashil (urutan perawi hadfts yang sampai langsung kepada Nabi Muhanzmad SAW), tidak diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadfts tentang shahih serta muttashil-nya sanad hadfts ini. Lalu Ibn Khuzaimah berkata, telah jelas dan telah terbukti bahwa Nabi SAW (dalam hadits tersebut) mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat.” (Ma’na Qawl al-Imam al-Muththalibi Izda Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi, hal 161)

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk dikeraskan dalam shalat jahriyyah atau shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara yakni maghrib, isya’ dan subuh dan beberapa shalat sunnah berjamaah yang dikerjakan pada malam hari.

Sunnah artinya lebih utama dikerjakan tapi tidak sampai pada hukum wajib. Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini sebagaimana sunnahnya mengeraskan keseluruhan al-Fatihah dalam shalat jahriyyah tersebut.

Qunut Nazilah

Posted by Alumni STAI Kapuas 14.14, under | No comments

Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran untuk melakukan qunut nazilah. Apakah qunut nazilah ini dan bagaiman cara melakukannya? Apa bedanya dengan qunut Subuh?

Di dalam bahasa Arab, "qunut" semula bisa berarti tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian digunakan untuk berdoa tertentu di dalam shalat.

Nabi Muhammad SAW melakukan qunut dalam berbagai keadaan dan cara (seperti banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang qunut ini). Pernah Nabi berqunut pada setiap lima waktu, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetaka, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi qunut muthlaq, tanpa sebab khusus.

Qunut nazilah sendiri adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah SAW atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Qura’ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r al-Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut.

Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah. Jika kita biasa melakukan qunut Subuh atau qunut Witir, maka melakukan qunut nazilah ya seperti itu.

Menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah ruku' yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam.

Jadi, qunut nazilah sama dengan qunut Subuh. Bacaannya juga sama seperti doa yang datang dari Rasulullah SAW. dan populer itu:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ, وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافيْتَ, وَتوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطيْتَ, وَقِنِي شَرَّ مَا قضَيْتَ, فإنَّكَ تَقْضِى وَلا ُيُقْضَى عَلَيْكَ, فإنَّهُ لا يَذِلُُ مَنْ وَالَيتَ, وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ, تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, أسْتَغْفِرُكَ وَأتُوْبُ إلَيْكَ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Hanya dalam qunut nazilah dapat ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam malapetaka di Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh ini, atau serangan Israel ke Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan saudara-saudara kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.

Rabu, 04 Februari 2009

Hukum merayakan valentine

Posted by Alumni STAI Kapuas 04.42, under | No comments


Pada suatu pagi Desy mengejutkan teman-temannya dengan setangkai bunga merah yang ia letakkan di atas dadanya, serta merta mereka menyambutnya dengan senyuman sambil bertanya, "Dalam rangka apa ini?" Desy menjawab, "Tidakkah kalian tahu bahwa ini adalah hari kasih-sayang di mana orang-orang sedang merayakan dan saling memberikan ucapan selamat. Ini adalah perayaan untuk mengungkapkan rasa cinta, romantika dan segala ketulusan, ini adalah Hari Valentine...". Tetapi Sari, salah seorang temannya bertanya kepada Desy dengan penuh keheranan, "Apakah arti Valentine?" Desy menjawab, "Artinya adalah cinta dalam bahasa latin ..!" Sari tertawa mendengar jawaban tersebut, "Apakah kamu merayakan sesuatu yang tidak kamu mengerti artinya? Tahukah kamu bahwa Valentine adalah seorang pendeta Nashrani yang hidup pada abad ke 3 M?" Kata Sari bernada prihatin terhadap keadaan sebagian putri muslimah yang mudah mengikuti apa saja yang sampai kepada mereka tanpa berpikir panjang.

SEJARAH HARI VALENTINE

Sari melanjutkan: "Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya." "Claudius II melihat St.Valentine mengajak manusia kepada agama nashrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya. Dalam versi kedua, Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus mengadakan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus cintanya, Valentine." Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama nashrani bersama 46 kerabatnya."

Lanjut Sari: "Versi ketiga menyebutkan ketika agama nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan "dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini."

Sambung Sari: "Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat "dengan nama tuhan Ibu" dengan kalimat "dengan nama Pendeta Valentine" sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nashrani."

"Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa Al Masih," papar Sari, "Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut."

"Bahkan saat ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak panah ke arah hati yang sebenarnya merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi!!!" Demikian Sari mengakhiri nasihatnya.

# HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE #

Saat ini banyak ABG muslimah yang terkena penyakit ikut-ikutan dan mengekor pada budaya Barat atau nashrani akibat pengaruh TV dan media massa lainnya. Termasuk pula dalam hal ini perayaan Hari Valentine, yang pada dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine. Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya.

Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi'ar dan kebiasaan. Padahal Rasul telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR. At-Tirmidzi). Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir, adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim berkata, "Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, "Selamat hari raya!" dan semisalnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyembah salib. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut.

Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid'ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah." Abu Waqid radhiyallah 'anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath." Maka Rasulullah n bersabda, "Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).

Adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala' dan bara' (loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu'min dan membenci orang-orang kafir, memusuhi dan menyelisihi mereka. Serta mengetahui bahwa sikap seperti ini di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak terhingga, sebaliknya gaya hidup yang menyerupai orang kafir justru mengandung kerusakan yang lebih banyak.

Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang, lagi pula, menyerupai kaum kafir dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Maidah:51)

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al-Mujadilah: 22)

"Dan janganlah belas kasihan kepada kedua pezina tersebut mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat." (An-Nur: 2)

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah; ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah As-Sunnah. Tidak ada suatu bid'ah pun yang dihidupkan kecuali saat itu ada suatu sunnah yang ditinggalkan. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka'at shalatnya membaca, "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya. Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi perayaan ini adalah dari ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta kristiani dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka. Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami .dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas Langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan: "Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku." (Al-Hadits).

# FATWA ULAMA:#

Pertanyaan: Pada akhir-akhir ini ini telah tersebar dan membudaya perayaan hari Valentine -terutama di kalangan pelajar putri, padahal ia merupakan salah satu dari sekian macam hari raya kaum Nasrani. Biasanya pakaian yang dikenakan berwarna merah lengkap dengan sepatu, dan mereka saling tukar mawar merah. Bagaimana hukum merayakan hari Valentine ini, dan apa pula saran dan anjuran anda kepada kaum muslimin. Semoga Allah selalu memelihara dan melindungi anda.

Jawab: Assalamu 'alaikum wr. wb.Merayakan hari valentine itu tidak boleh, karena: Pertama: ia merupakan hari raya bid'ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari'at Islam. Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) - semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan.

Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.

Undang-undang Pemilu

Posted by Alumni STAI Kapuas 04.22, under | No comments

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1999

TENTANG

PARTAI POLITIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang‑Undang Dasar 1945 adalah bagian dari hak asasi manusia ;

b. bahwa usaha untuk menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran, merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan atas hukum;

c. bahwa partai politik merupakan. sarana yang sangat penting arti, fungsi, dan perannya sebagai perwujudan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. bahwa Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang

Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sudah tidak dapat menampung aspirasi politik yang berkembang sehingga kehidupan demokrasi di Indonesia tidak dapat berlangsung dengan baik;

e. bahwa sehubungan dengan hal‑hal tersebut di atas dan untuk memberi landasan hokum yang lebih baik bagi tumbuhnya kehidupan partai politik yang dapat lebih menjamin peran serta rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945, dipandang perlu mengganti Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dengan sebuah Undang‑Undang Partai Politik yang baru.

Mengingat : Pasal 5 ayat ( I ), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28

Undang‑Undang Dasar 1945.

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Dalam undang‑undang ini yang dimaksud dengan Partai Politik adalah :

setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarcla alas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotam a maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.

(2) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotanva.

(3) Setiap Partai Politik mempumai kedudukan. fungsi. hak, dan kewajiban yang sama dan scderajat

(4) Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya.

BAB II

SYARAT‑SYARAT PEMBENTUKAN

Pasal 2

(1) Sekurang‑kurangmya 50 (lima puluh) orang vrarga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.

(2) Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi svarat:

a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai;

b. asas atau ciri. aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila;

c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap vcarga negara Republik Indonesia yang telah mempum‑ai hak pilih:

d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing. benders Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih. Bendera kebangsaan negara asing. gambar perorangan dan nama serfs lambang partai lain yang telah ada.

Pasal 3

Pembentukan Partai Politik tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.

Pasal 4

(1) Partai Politik didirikan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia.

(2) Departemen Kehakiman Republik Indonesia hanya dapat menerima pendaftaran pendirian Partai Politik apabila telah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang‑undang ini.

(3) Pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hokum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

BAB III

TUJUAN

Pasal 5

(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita‑cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945;

b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita‑cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 6

Setiap Partai Politik wajib mencantumkan tujuan umum dan tujuan khusus seperti tercantum dalam Pasal 5 undang‑undang ini di dalam anggaran dasarnya.

BAB IV

FUNGSI, HAK, DAN KEWAJIBAN

Pasal 7

(1) Partai Politik berfungsi untuk:

a. melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

b. menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat daIam pembuatan kebijakan negara melalui mekanisme badan‑badan permusyawaratan/ penvakilan rakyat;

c. mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi.

(2) Partai Politik sebagai lembaga demokrasi merupakan wahana guna menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik.

Pasal 8

Partai Politik mempunyai hak

a. ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan Undang‑Undang tentang Pemilihan Umum;

b. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan add dari negara.

Pasal 9

Partai Politik berkewajiban:

a. memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945;

b. mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memelihara persatuan dan kesatuan bangsa;

d. menyukseskan pembangunan nasional;

e. menyukseskan perryelenggaraan penuhhan umum secara demokratis, jujur,

dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan supra secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

BAB V

KEANGGOTAAN DAN KEPENGURUSAN

Pasal 10

(1) Anggota Partai Politik adalah warga negara Republik Indonesia dengan

persyaratan sebagai berikut:

a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin;

b. dapat membaca dan menulis;

c. memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Partai Politik.

(2) Partai Politik mendaftar dan memelihara daftar anggotanya.

Pasal 11

Partai Politik dapat membentuk kepengurusan di: a. ibukota negara Republik Indonesia untuk Pengurus Tingkat Pusat; b. ibukota propinsi untuk Pengurus Daerah Tingkat I; c. ibukota kabupaten/kotamadya untuk Pengurus Daerah Tingkat II; d. kecamatan untuk Pengurus Tingkat Kecamatan; e. desa/kelurahan untuk Pengurus Tingkat Desa/Kelurahan.

BAB VI

KEUANGAN

Pasal 12

(1) Keuangan Partai Politik diperoleh dari:

a. iuran anggota;

b. sumbangan;

c. usaha lain yang sah.

(2) Partai Politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnva.

(3) Penetapan mengenai bantuan tahunan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.

(4) Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.

Pasal 13.

(1) Partai Politik merupakan organisasi nirlaba.

(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Pasal 14

(1) Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak‑banyaknya adalah Rp 15.000.000,00 (lima belas juts rupiah) dalam waktu satu tahun.

(2) Jumlah sumbangan dari setiap perusahaan dan setiap badan lainnya yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak‑banyaknya adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juts rupiah) dalam waktu satu tahun.

(3 ) Sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku dan diperlakukan sama dengan sumbangan yang berupa uang.

(4) Partai Politik memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangannya, serta terbuka untuk diaudit oleh akuntan publik.

Pasal 15

(1) Partai Politik wajib melaporkan daftar sebagaimana dimaksud Pasal 14

ayat (4) beserta laporan keuanganma sctiap akhir tahun dan setiap 15 (lima belas) hari sebelum serta 30 (tiga puluh) hari sesudah pemilihan umum kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(2) Laporan sebagain mna dimaksud avat 1 I ) scwaktu‑waktu dapat diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

BAB VII

PENGAWASAN DAN SANKSI

Pasal 16

Partai Politik tidak boleh:

a. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila;

b. menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun dari pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung;

c. memberi sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung. yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara;

d. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain.

Pasal 17

(1) Pengawasan atas ketentuan‑ketentuan yang tercantum dalam undang­ undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika nyata‑nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 undang‑undang iru.

(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

(4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hokum tetap dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh

Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Pasal 18

(1) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara apabila suatu Partai Politik nyata‑nyata melanggar Pasal 15 undang‑undang ini.

(2) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat mencabut hak suatu Partai Politik untuk ikut pemilihan umum jika nyata‑nyata melanggar Pasal 13 dan Pasal 14 undang‑undang ini.

(3) Pencabutan hak sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dehgan terlebih dahulu mendengar pertimbangan pengurus pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

Pasal 19

(1) Barangsiapa dengan sengaja memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang‑Undang ini diancam pidanakunngan selama‑lamanya 30 (tigapuluh) hari atau pidana denda sebafi‑akfiairyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus juts nipiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja memberikan uang atau barang kepada orang lain dengan maksud agar orang tersebut menyumbangkannya kepada Partai Politik sehingga melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang‑Undang ini diancam pidana kurungan selamalamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak‑banyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa dengan sengaja menerima uang atau barang dari seseorang untuk disumbangkan kepada Partai Politik dengan maksud agar orang tersebut dapat menyumbang melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang‑Undang ini diancam pidana kurungan selamalamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak‑banyaknya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Barangsiapa dengan sengaja memaksa seseorang atau badan untuk memberikan sumbangan kel~ida Partai Politik dalam bentuk apa pun diancam pidana kurungan selama‑lamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak‑banyaknva Rp100.000.000,00 (seratus juts rupiah).

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 20

Pada scat berlakunya undang‑undang ini maka Organism Peserta Pemilihan Umum Tahun 1997, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan‑Partai Demokrasi Indonesia sebagai organisasi kekuatan sosial politik berdasarkan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Parfai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dianggap telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, dan Pasal 4 undang‑undang ini serca wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang‑undang ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

(1) Sejak mulai berlakunya Undang‑Undang ini maka undang‑undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 3 Tabun 1985 tentang Perubahan Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Segala ketentuan dan peraturan yang bertentangan dengan undangundang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 22

Undang‑Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinva, memerintahkan pengundangan undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENJELASAN

ATAS

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1999

TENTANG

PARTAI POLITIK

UMUM

Pembentukan Partai Politik pads dasarnya merupakan salah sate pencerminan hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat sesuai dengan Pasal 28 Undang‑Undang Dasar 1945. Melalui Partai Politik rakyat dapat mewvjudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman pendapat di dalam masyarakat akan melahirkan keinginan untuk membentuk berbagai Partai Politik sesuai dengan ragam pendapat yang hidup. Dengan demikian, pads hakekatnya, negara tidak membatasi jumlah Partai Politik yang dibentuk oleh rakyat.

Dalam keragaman Partai Politik iru, setiap Partai Politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat. Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotama, dan karena itu Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur nmiah tangga organisasinya. Dengan demikian, pihak‑pihak yang berada di luar partai tidak dibenarkan camper tangan dalam unisan rumah tangga suatu Partai Politik.

Untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat yang dicita‑citakan oleh para pendiri negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945, setup Partai Politik dalam kehidupan bernegara melaksanakan secara konsisten Pancasila sebagai dasar Negara.

Dengan demikian dinamika demokrasi di Indonesia mendapatkan landasan yang kokoh. Karma acuan utama Partai Politik telah disepakati, maka setiap Partai Politik dapat mempunyai asas aCau ciri, aspirasi dan program tersendiri yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Aspirasi dan program Partai Politik merupakan pengejawantahan dari asas atau ciri dalam upaya memecahkan masalah bangsa Indonesia. Program tersebut diarahkan untuk mewvjudkan cita‑cita nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai tujuan umum dan mempeijuangkan cita‑cita para anggotanya sebagai tujuan khusus Partai Politik. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan cita‑city demokrasi berdasarkan Paticasila, hanya dapat tercapai jika perbedaan yang ada dalam mayarakat tidak dijadikan alasan untuk mendiskriminasikan keanggotaan Partai Politik. Prinsip nondiskriminasi dalam keanggotaan Partai Politik dimaksudkan agar demokrasi berdasarkan Paneasila dapat ternvjud secara dinamis, sehingga setiap Partai Politik bersifat terbuka bagi setiap ivarga negara Republik Indonesia. Dengan demikian, keragaman Partai Politik itu tidak menjadi pemecah belah bangsa tetapi justru menjadi pengikat persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai salah satu lembaga demokrasi, Partai Politik berfungsi mengembangkan kesadaran atas hak dan ke«apban politik iakyat memalurkan kepentingan mayarakat dalam pembuatan kebijakan negara. serta membina dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan‑jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi. Partai Politik juga merupakan salah satu wahana guns menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik. Semua fungsi ini divwjudkan melalui Pemilihan Umum yang diselenggarakan secara demokratis, jujur. dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas TAP MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu setiap Partai Politik berhak ikut serta dalam Pemilihan Umum setelah memenuhi syarat keikutsertaan sebagaimana diatur dalam Undang‑Undang tentang Pemilihan Umum.

Negara harus menjamin bahwa setiap n‑arga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi kebijakan negara melalui Partai Politik dan tenvujudnya asas demokrasi yaitu satu orang satu suara. Mengingat pembentukan Partai Politik merupakan pernvjudan kedaulatan raky•at, bukan penwjudan kekuatan ekonomi, maka perlu pembatasan somber keuangan Partai Politik untuk mencegah penyalahgunaan uang demi kepentingan politik (money politics). Keterbukaan Partai Politik dalam hal keuangan merupakan informasi

penting bagi warganegara untuk menilai dan memutuskan dukungannya terhadap Partai Politik tersebut.

Selanjutnya sebagai perwujudan prinsip negara hokum, Partai Politik tunduk pads peraturan perundang‑undangan yang berlaku. Pengawasan terhadap pelanggaran undang‑undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia alas dasar kewenangan yang ada padanya sebagai lembaga yudikatif tertinggi dengan merujuk kepada mekanisme hokum yang telah ditetapkan

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1999

TENTANG

PEMILIHAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Mengingat :

a.

b.

c.

d.

e

f.

1.

2.

3.

4.

bahwa berdasarkan Undang‑Undang Dasar 1945, negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;

bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;

bahwa Pemilihan Umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil‑wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

bahwa untuk lebih mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat dan dengan telah dilakukannya penataan Undang-undang di bidang politik. Perlu menata kembali penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia;

bahwa Undang‑undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pcmilihan Umum Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1975. Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1980. dan Undang‑undang Nomor 1 Tahun 1985, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan kehidupan politik, karna itu perlu dicabut;

bahwa sehubungan dengan hal‑hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e, perlu ditetapkan Undang‑undang tentang Pemilihan Umum;

Pasal 1 ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;

Ketetapan Majelis Permuyawaratan Rakyat Republik In­donesia Nomor XIV/IV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum;

Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809);

Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan, Dewan Penvakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811);

Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

(2) Pemilihan Umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

(3) Pemilihan Umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Pemilihan Umum dilaksanakan untuk memilih Anggota Dewan Penvakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut DPR, DPRD I, dan DPRD II, kecuali untuk Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

(5) Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud ayat (4) juga untuk mengisi keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. yang selanjutnya disebut MPR.

(6) Pemberian suara dalam pemilihan umum adalah hak setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih.

(7) Pemilihan Umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar.

Pasal 2

Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip‑prinsip demokrasi yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

BAB II

DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI

Pasal 3

(1) Untuk pemilihan anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II masing‑masing ditetapkan Daerah Pemilihan sesuai dengan tingkatannva.

(2) a. Untuk pemilihan anggota DPR. Daerah Pemilihannya adalah Daerah Tingkat I;

b. Untuk penulihan anggota DPRD I. Daerah Tingkat I merupakan satu Daerah Pemilihan;

c. Untuk pemilihan anggota DPRD II. Daerah Tingkat II merupakan satu Daerah Pemilihan;

Pasal 4

(1) Jumlah kursi Anggota DPR untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan berdasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat I, dengan ketentuan setiap Daerah Tingkat II mendapat sekurang‑kurangnya I (satu) kursi.

(2) Jumlah kursi Anggota DPR di masing‑masing Daerah Pemilihan ditetapkan oleh KPU.

Pasal 5

(1) Jumlah kursi Anggota DPRD I ditetapkan sekurang‑kurangmya 45 (empat puluh lima) dan sebanyak‑banyaknya 100 (seratus)

(2) Jumlah kursi Anggota DPRD I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat I, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;

b. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 3.000.001 (tiga juta satu) sampai dengan 5.000.000 (lima juts) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;\

c. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 5.000.001 (lima juta satu) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;

d. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 7.000.001 (tujuh juta satu) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juts) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;

e. Daerah Tingkat I yang jumlah penduduknya 9.000.001 (sembilan juta satu) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juts) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;

f. Daerah Tingkat I yang jumlah pendudukma di alas 12.000.000 (dua betas juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi;

(3) Setiap Daerah Tingkat II mendapat sekurang‑kurangnya 1 (satu) kursi untuk Anggota DPRD I.

(4) Penetapan jumlah kursi Anggota DPRD I untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan oleh KPU.

Pasal 6

(1) Jumlah kursi Anggota DPRD II ditetapkan sekurang‑kurangnya 20 (dua puluh) dan sebanyak‑banyaknya 45 (empat puluh lima).

(2) Jumlah kursi Anggota DPRD II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk di Daerah Tingkat II, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa mendapat 20 (dua puluh) kursi:

b. Daerah Tingkat lI yang jumlah penduduknya 100.001 (seratus ribu satu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa mendapat 25 (dua puluh lima) kursi;

c. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya 200.001 (dua ratus ribu satu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa mendapat 30 (tiga puluh) kursi;

d. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya 300.001 (tiga ratus ribu satu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;

e. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya 400.001 (empat ratus ribu satu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 40 (empat puluh) kursi;

f. Daerah Tingkat II yang jumlah penduduknya di atas 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;

(3) Setup wilayah kecamatan mendapat sekurang‑kurangnya 1 (satu) kursi untuk Anggota DPRD II.

(4) Penetapan jumlah kursi untuk setup Daerah Pemilihan Anggota DPRD 11 ditentukan oleh KPU

Pasal 7

Jumlah Anggota DPR. UPRD I, dan DPRD II ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB III

PENYELENGGARAAN DAN ORGANISASI

Pasal 8

(1) Penanggung jawab Pemilihan Umum adalah Presiden.

(2) Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai‑partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah. yang bertanggung jawab kepada Presiden.

(3) Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang selanjutnya disebut KPU, berkedudukan di Ibukota Negara.

(4) Pembentukan KPU diresmikan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 9

(1) Keanggotaan KPU terdiri dari 1 (satu) orang Wakil dari masing‑masing Partai Politik peserta Pemilihan Umum dan 5 (lima) orang wakil Pemerintah.

(2) Hak suara dari unsur Pemerintah dan Wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum ditentukan berimbang.

(3) Wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum ditentukan oleh masing-­masing Pimpinan Pusat Partai dan Wakil Pemerintah ditetapkan oleh Presiden.

(4) KPU terdiri dari seorang Ketua, 2 (dua) orang Wakil Ketua, dan Anggota-­anggota.

(5) Ketua dan Wakil‑wakil Ketua dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota KPU dalam rapat pleno KPU.

(6) Masa keanggotaan KPU adalah 5 (lima) tahun.

(7) Tata kerja KPU disusun dan ditetapkan oleh KPU.

(8) Dalam melaksanakan tugasnya KPU dibantu oleh sebuah Sekretariat Umum yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Umum, dibantu seorang Wakil Sekretaris Umum.

(9) Organisasi dan tata kerja Sekretariat KPU ditetapkan oleh Presiden.

(10) Sekretaris Umum dan Wakil Sekretaris Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(11) Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Umum sebagaimpa dimaksud pada ayat (8) secara teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU dan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Pemerinah

Pasal 10

Untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas dan ke­wenangan sebagai berikut :

a. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;

b. menerima, meneliti, dan menetapkan Partai‑partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;

c. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;

d. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;

e. menetapkan keseluruhan basil pemilihan umum di semua daerah pemilihan untuk DPR. DPRD I, dan DPRD II;

f. mengumpulkan dan mensistematisasikan bahan‑bahan serta data basil Pemilihan Umum

g. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Pasal 11

Selain tugas dan kewenangan KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, selambat‑lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

Pasal 12

(1) PPI yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c berkedudukan di Ibukota Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPI terdiri dari wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, Wakil‑wakil Sekretaris, dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil‑wakil Sekretaris PPI dipilih secara demokratis oleh anggota KPU dari anggota KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU.

(4) Susunan dan keanggotaan PPI ditetapkan dengan keputusan KPU.

Pasal 13

Tugas dan kewenangan PPI adalah :

a. Membentuk serta mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I yang selanjutnya disebut PPD I di seluruh Indonesia;

b. Menetapkan nama‑nama calon anggota DPR untuk setiap daerah pemilihan;

c. Melaksanakan Pemilihan Umum untuk pemilihan anggota DPR;

d. Menghitung suara basil Pemilihan Umum untuk menentukan anggota DPR.

Pasal 14

(1) PPD I yang dibentuk oleh PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a. berkedudukan di Ibukota Propinsi dan berfungsi sebagai pelaksana PPI dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Kcanggotaan PPD I terdiri dari wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah. dengan susunan Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, Wakil‑wakil Sekretaris, dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil‑wakil Sekretaris dipilih secara demokratis dari dan oleh anggota PPD I.

(4) Susunan dan keanggotaan PPD I ditetapkan dengan keputusan PPI.

Pasal 15

Tugas dan Kewenangan PPD I adalah :

a. membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut PPD II di setiap daerah pemilihan;

b. menetapkan nama‑nama calon anggota DPRD I untuk setiap daerah pemilihan;

c. melaksanalcan pemilihan umum untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD I;

d. menghitung suara hasil Pemilihan Umum setiap daerah Pemilihan untuk DPR dan DPRD I;

e. membantu tugas‑tugas PPI.

Pasal 16

(1) PPD II yang dibentuk oleh PPD I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPD II terdiri dari Wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, Wakil‑wakil Sekretaris dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil‑wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil‑wakil Sekretaris dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPD II.

(4) Susunan dan keanggotan PPD II ditetapkan dengan keputusan PPD I.

Pasal 17

Tugas dan Kewenangan PPD II adalah

a. membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Kecamatan yang seanjutnya discbut PPK;

b. menetapkan nama‑nama Calon anggota DPRD 11 untuk setiap daerali pemilihan:

c. melaksanakan Pemilihan Umum untuk pemilihan aggota DPR. DPRD I, dan DPRD II di daerahnya;

d. menghitung suara basil Pemilihan Umum setiap daerah pemilihan untuk DPR. DPRD, dan DPRD II:

e. membantu tugas‑tugas PPD I.

Pasal 18

(1) PPK yang dibentuk oleh PPD II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan berfungsi sebagai pelaksana PPD II dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPK terdiri dari Wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil Sekretaris dipilili sccara demokratis dari dan oleh Anggota PPK.

(4) Susunan dan keanggotaan PPK ditetapkan dengan keputusan PPD II.

Pasal 19

Tugas dan Kewenangan PPK adalah:

a. membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut PPS;

b. menghitung suara hasil Pemilihan Umum untuk DPR, DPRD 1, dan DPRD II di tingkat Kecamatan;

c. membantu tugas‑tugas PPD 11.

Pasal 20

(1) Dalam melaksanakan tugasnya PPI, PPD 1. PPD II, dan PPK dibantu oleh sebuah Sekretariat yang dikepalai oleh seoran¢ Kepala Sekretariat.

(2) Susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

(3) Personalia Sekretariat PPI diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri.

(4) Personalia Sekretariat PPD I diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur.

(5) Personalia Sekretariat PPD II dan PPK diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikotamadya.

Pasal 21

(1) PPS yang dibentuk oleh PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana PPK dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum.

(2) Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris. dan Anggota‑anggota.

(3) Ketua. Wakil Ketua. dan Sekretaris dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPS.

(4) Susunan dan Keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK

Pasal 22

Tugas dan Kewenangan PPS adalah :

a. Melakukan pendaftaran pemilih dengan membentuk petugas pendaftaran pemilih;

b. Membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut KPPS sesuai dengan jumlah TPS;

c. Membantu tugas‑tugas PPK;

Pasal 23

(1) Keanggotaan KPPS terdiri dari wakil‑wakil Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan/atau wakil masyarakat.

(2) Susunan keanggotaan KPPS adalah sebagai berikut:

a. Seorang Ketua merangkap Anggota:

b. Seorang Wakil Ketua merangkap Anggota:

c. Anggota‑anggota.

(3) Ketua dan Wakil Ketua KPPS dipilih dari dan oleh Anggota KPPS.

(4) Susunan dan keanggotaan KPPS ditetapkan dengan keputusan PPS.

(5) Jumlah, tugas, dan kewajiban masing‑masing Anggota KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

(6) KPPS dilengkapi dengan dua orang anggota Pertahanan Sipil sebagai petugas keamanan yang diusulkan oleh Kepala Desa atau Kepala Kelurahan dan ditetapkan oleh KPPS.

(7) Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum di Daerah Pemilihan yang bersangkutan dapat mengutus satu orang saksi untuk mengikuti persiapan pemungutan suara, pelaksanaan pemungutan suara, dan penghitungan suara, di setiap TPS.

(8) Saksi utusan setiap Partai Politik peserta Pemilihan Umum di TPS harus menunjukkan surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat kepada KPPS

BAB IV

PENGAWASAN DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM

Pasal 24

(1) Dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Umum dibentuk Panitia Pengawas.

(2) Panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di Tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Tingkat Kecamatan.

(3) Keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Pusat, Tingkat I, dan Tingkat II, terdiri dari Hakim, Unsur Perguruan Tinggi, dan Unsur Masyarakat.

(4) Keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Kecamatan terdiri dari unsur Perguruan Tinggi dan unsur masyarakat.

(5) Susunan Panita Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) dan ayat (4) ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk Tingkat Pusat, Ketua Pengadilan Tinggi untuk Tingkat I, Ketua Pengadilan Negeri untuk Tingkat II dan Tingkat Kecamatan.

Pasal 25

Hubungan dan tata kerja antara Panitia Pengawas dengan KPU dan Panitia Pelaksana mulai dari Tingkat Pusat sampai dengan di TPS, diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung, berkonsultasi dengan KPU.

Pasa1 26

Togas dan kewajiban Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah:

a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum;

b. menyelesaikan sengketa alas perselisihan yang timbal dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum;

c. menindaklanjuti temuan, sengketa, dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hokum

Pasal 27

(1) Lembaga‑lembaga Pemantau Pemilihan Umum baik dari dalam maupun luar negeri dapat melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Urnum dengan mendaftarkan diri pada KPU.

(2) Tata cara pemantauan Pemilihan Umum oleh lembaga‑lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

BAB V

HAK MEMILIH

Pasal 28

Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

Pasal 29

(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih seorang warga negara harus terdaftar sebagai pemilih.

(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih harus dipenuhi syarat‑syarat sebagai berikut:

a. nyata‑nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

b. tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, karma tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

c. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.

(3 ) Seorang warga negara yang setelah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2). tidak dapat menggunakan hak memilihnya.

Pasal 30

Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih.

Pasal 31

Menteri Kehakiman memberitahukan kepada KPU tiap‑tiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, yang mengakibatkan seseorang dicabut hak pilihnya.

BAB VI

PENDAFTARAN PEMILIH

Pasal 32

(1) Pemberian suara merupakan hak waxga negara yang berhak memilih.

(2) Pendaftaran pemilih di tempat yang ditentukan, dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti diri lainnya yang sah.

(3) Untuk Desa/Kelurahan/UPT yang secara geografis sulit dijangkau oleh pemilih dan atau kondisi masyarakatnya masih sulit berprakarsa untuk mendaftarkan diri. PPS berkewajiban aktif melakukan pendaftaran pemilih yang bersangkutan.

(4) Penentuan jadwal waktu dimulai dan berakhirnya pendaftaran pemilih ditentukan oleh KPU.

Pasal 33

(1) Pendaftaran pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dilakukan dengan mencatat data pemilih dalam Daftar Pemilih.

(2) Format Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 34

(1) Pemilih yang namanya telah dicatat dalam Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, diberi bukti pendaftaran yang berlaku sebagai surat panggilan.

(2) Format surat panggilan ditetapkan oleh KPU

Pasal 35

( I ) Warga negara yang berhak memilih dan bertempat tinggal di luar negeri mendaftarkan diri ke Parutia Pemilihan Luar Negeri yang selanjutnya disebut PPLN, setempat.

(2) PPLN berkedudukan di kantor‑kantor perwakilan Republik Indonesia setempat.

(3 ) PPLN terdiri dari wakil‑wakil masyarakat Indonesia yang ditentukan oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia setempat, dengan mempertim­bangkan usulan yang telah masuk dari Pimpinan Pusat Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

(4) Susunan keanggotaan PPLN terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan sekurang‑kurangnya 3 (tiga) orang anggota, selanjutnya diusulkan kepada PPI untuk memperoleh Surat Keputusan.

Pasal 36

(1) Seorang pemilih hanya dapat didaftar dalam satu daftar pemilih.

(2) Apabila seorang pemilih mempuncai lebih dari satu tempat tinggal. pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang tetap.

(3) Apabila kemudian ternyata pemilih tersebut dengan sengaja mendaftarkan diri dalam lebih dari satu daftar pemilih, maka pemilih yang bersangkutan kehilangan hak pilihnya.

Pasal 37

(1) Apabila seorang pemilih telah terdaftar dalam Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, kemudian berpindah tempat tinggal, pemilih yang bersangkutan melapor kepada PPS setempat.

(2) Pemilih terdaftar yang telah melaporkan kepindahannya, menerima bukti tanda pendaftaran dari PPS di tempat tinggal yang baru.

(3) Pemilih terdaftar yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat yang bersangkutan tercatat dalam daftar pemilih, dapat menggunakan hak pilihnya di tempat lain yang pengaturan lebih lanjut ditentukan oleh KPU.

Pasal 38

(1) Daftar Pemilih Sementara diumumkan oleh PPS guns memberi kesem­patan kepada para pemilih untuk menyempurnakan Daftar Pemilih Sementara tersebut selanjutnya disahkan oleh PPK.

(2) Daftar Pemilih Sementara yang telah disempurnakan dan disahkan men­jadi Daftar Pemilih Tetap oleh PPK, diumumkan oleh PPS.

(3) Pemilih yang behun terdaftar dalam daftar pemilih tetap, dapat mendaf­tarkan diri dalam daftar pemilih tambahan.

(4) Jadwal dan jangka waktu kegiatan‑kegiatan sebagaimana dimaksud dada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh KPU.

(5) Daftar Pemilih Sementara, Daftar Pemilih Tetap, dan Daftar Pemilih Tambahan harus diberikan salinannya kepada Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

BAB VII

SYARAT KEIKUTSERTAAN DALAM PEMILIHAN UMUM

Pasal 39

(1) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat‑syarat sebagai berikut

a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang‑undang tentang Partai Politik;

b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia;

c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;

d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.

(2) Partai Politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat menjadi Peserta Pemilihan Umum, namun keberadaannya tetap diakui selama partai tersebut melaksanakan kewajiban‑kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang­-undang tentang Partai Politik.

(3) Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang‑kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang‑kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh In­donesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.

(4) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.

(5) Pendaftaran Partai Politik untuk menjadi peserta Pemilihan Umum, diatur lebih lanjut dengan keputusan KPU.

Pasal 40

Partai Politik Peserta Pemilihan Umum ddak boleh menggunakan nama dan tanda gambar yang sama atau mirip dengan :

a. lambang negara Republik Indonesia;

b. lambang negara asing;

c. bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih;

d. benders kebangsaan negara asing;

e. gambar perseorangan;

f. tanda gambar partai politik yang telah ada.

BAB VIII

HAK DIPILIH DAN PENCALONAN

Pasal 41

(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II untuk setiap Daerah Pemilihan

(2) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mengajukan nama‑nama calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II, sebanyak‑banyaknya 2 (dua) kali jumlah kursi yang telah ditetapkan.

(3) Seorang calon hanya dapat dicalonkan dalam 1(satu) Lembaga Perwakilan Rakyat.

(4) Calon‑calon yang diajukan oleh masing‑masing Partai Politik mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.

(5) Penyusunan daftar calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dilakukan secara demokratis oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik dengan memperhatikan sungguh‑sungguh usulan tertulis dari Pimpinan Partai Politik di Daerah Tingkat II.

(6) a. Daftar nama‑nama talon Anggota DPR diajukan oleh Pimpinan Pusat Partai Peserta

Pemilihan Umum dengan menyebutkan Daerah Tingkat II dimana yang bersangkutan dicalonkan;

b. Daftar nama‑nama talon Anggota DPRD I diajukan oleh Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, dengan menyebutkan Daerah Tingkat II dimana yang bersangkutan dicalonkan.

c. Daftar nama‑nama calon Anggota DPRD ll diajukan oleh Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Daerah Tingkat II dengan menyebutkan Wilayah Kecamatan dimana yang bersangkutan dicalonkan.

Pasal 42

Anggota ABRI tidak menggunakan hak untuk dipilih.

Pasal 43

(1) Seorang calon anggota DPR. DPRD I. dan DPRD II harus memenuhi syarat‑syarat sebagai berikut :

a. warga negara yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. bertempat tinggal dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP atau Keterangan Lurah/Kepala Desa tentang alamatnya yang tetap;

c. dapat berbahasa Indonesia, cakap membaca dan menulis;

d. berpendidikan serendah‑rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau berpengetahuan yang sederajat dan berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan;

e. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang Undang Dasar 1945, dan cita‑vita proklamasi 17 Agustus 1945;

f. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indone­sia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "G30S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap;

h. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

i. nyata‑nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

j. terdaftar dalam daftar pemilih.

(2) Anak‑anak dan kcturunan dari orang yang dinmksud pada ay at ( l ) huruf f dapat menjadi talon Anggota DPR. DPRD I, dan DPRD lI. kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Pasal 44

( I ) Untuk keperluan pencalonan Anggota DPR. DPRD I. dan DPRD II, Pengurus Partai Politik Peserta Pemilihan Umum wajib menyerahkan data

a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik pada tingkatan masing‑masing;

b. surat pernyataan kesediaan menjadi talon anggota DPR/DPRD I/ DPRD II;

c. daftar riwavat hidup lengkap;

d. daftar kekayaan pribadi;

e. surat keterangan domisili;

f. surat‑surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.

(2) Format pengisian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.

(3) Daftar Calon beserta lampiran‑lampiranya disampaikan kepada :

a. PPI untuk talon Aijggota DPR.

b. PPD I untuk talon Anggota DPRD I.

c. PPD II untuk talon Anggota DPRD II.

(4) Penelitian terhadap kelengkapan dan penetapan atas keabsahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dilakukan oleh :

a. PPI untuk talon Anggota DPR:

b. PPD I untuk talon Anggota DPRD I:

c. PPD II untuk talon Anggota DPRD II.

(5) Apabila seorang talon ditolak karna tidak memenuhi syarat talon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). penolakannya diberitahukan secara tertulis kepada Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang mengajukan calon dan kepada yang bersangkutan disertai alasan‑alasan yang jelas, dan kepadanya diberi kesempatan untuk melengkapi dan atau memperbaiki syarat calon. atau kepada Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang mengajukan calon diberi kesempatan untuk mengajukan calon lain dalam waktu yang ditetapkan oleh PPI/PPD I/PPD II.

Pasal 45

(1) Nama calon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44, disusun dalam Daftar Calon Anggota DPR/ DPRD I/DPRD II dan disahkan dalam rapat PPI/PPD I/PPD II.

(2) Daftar Calon Anggota DPR/DPRD I/DPRD II yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). diumumkan dalam Berita Negara/Lembaran Daerah serta melalui media pengumuman lainnya secara luas dan efektif

(3) Tata cara dan jadwal waktu pencalonan Anggota DPR/DPRD I/DPRD II diatur oleh KPU.

BAB IX

KAMPANYE PEMILIHAN UMUM

Pasal 46

(1) Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat diadakan kampanye Pemilihan Umum.

(2) Dalam kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rakyat mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk menghadirinya.

(3) Pelaksanaan kegiatan kampanye Pemilihan Umum dilakukan sejak selesainya pengumurnan Daftar Calon Tetap Anggota DPR/DPRD I/DPRD II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan 2 (dua) hari sebelum hari pemungutan suara.

(4) Tema kampanye Pemilihan Umum adalah program masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang disampaikan oleh calon Anggota DPR/DPRD I/DPRD II dan atau juru kampanye dan atau kader Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

(5) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang lama selama melaksanakan kampanye Pemilihan Umum

(6) Tata cara dan jadwal waktu kampam a Pemilihan Umum diatur oleh KPU

Pasal 47

(1) Dalam kampamc Pemilihan Umum dilarang

a. mempersoalkan ideologi negara Pancasila dan UUD 19.15.

b. menghina seseorang. agama. suku. ras. golongan. serta Partai Politik yang lain;

c. menghasut dan mengadu domba kelompok‑kelompok masyarakat;

d. mengganggu ketertiban umum;

e. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dan/atau Partai Politik yang lain;

f. mengancam atau menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah;

g. menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah;

h. menggerakkan massa dari satu daerah ke daerah lain untuk mengikuti kampam e.

(2) Pelanggaran atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berakibat dibubarkan atau diberhentikan pelaksanaannya oleh yang berwenang.

Pasal 48

(1) Dana kampanye Pemilihan Umum masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat diperoleh dari :

a. Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan;

b. Pemerintah. yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

c. Pihak‑pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi badan‑badan swasta, perusahaan. yayasan, atau perorangan.

(2) Batas dana kampanye yang dapat diterima oleh Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.

(3) Dana dan bantuan lain untuk kampanye Pemilihan Umum masing‑masing Partai Politik tidak boleh berasal dari pihak asing.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada avat (1) dan a\ at (2). dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksnd dalam.Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ay at (2) Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

Pasal 49

(1) Dana Kampanye Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diaudit oleh Akuntan Publik, dan hasilnya dilaporkan oleh Partai Politik Peserta Pemilihan Umum kepada KPU 15 (lima belas) hari sebelum hari pemungutan suara dan 25 (dua puluh lima) hari sesudah hari pemungutan suara.

(2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa penghentian bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.

(3) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang melanggar batas jumlah dana kampanye dikenakan sanksi administratif tidak boleh mengikuti Pemilihan Umum berikutnya

BAB X

PEMUNGUTAN SUARA DAN PENGHITUNGAN SUARA

Pasal 50

(1) Pemungutan suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II di tempat pemungutan suara, dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal yang ditetapkan oleh KPU

(2) Pemungutan suara bagi warga negara yang berada di luar negeri. hanya untuk Pemilihan Umum Anggota DPR, yang dilaksanakan di tiap kantor Perwakilan Republik Indonesia, dan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan waktu pemungutan suara Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II yang ditctapkan oleh KPU.

Pasal 51

(1) PPS menetapkan jumlah dan letak TPS sedemikian rupa, sehingga pemungutan suara dapat dilaksanakan secara mudah dan lancar.

(2) Tempat pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat‑tempat yang strategic dan dapat dijangkau dengan mudah serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara bebas.

Pasal 52

(1) Untuk keperluan pemungutan suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dibuat surat suara oleh KPU.

(2) Jumlah surat suara untuk Pemilihan Umum Anggota DPR. DPRD I. dan DPRD II pada setiap daerah pemilihan adalah sama dengan jumlah pemilih terdaftar di daerah pemilihan yang bersangkutan ditambah 3% (tiga per seratus) dari jumlah pemilih.

(3) Surat suara tambahan sebanyak 3% (tiga per seratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mengganti surat suara yang rusak sebelum atau pada saat pelaksanaan pemungutan suara di TPS dan untuk pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihma di tempat lain.

(4) Penerimaan dan Penggunaan surat suara tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan diketahui oleh saksi yang hadir, yang formatnya ditetapkan oleh KPU.

Pasal 53

Pemberian dan pemungutan suara dilakukan dengan cara‑cara yang akan di­tentukan oleh KPU.

Pasal 54

(1) Suara dinyatakan sah apabila menggunakan surat suara, yang di­tandatangani oleh Ketua KPPS.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sah atau tidak sahnya suara pada surat suara ditetapkan oleh KPU.

Pasal 55

(1) Pemilih yang telah memberikan suara di tempat pemungutan suara, oleh KPPS diberi tanda khusus.

(2) Tauda khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat ( ( ) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 56

(1) Segera setelah pemungutan suara berakhir diadakan penghitungan suara di TPS oleh KPPS.\

(2) Para saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum, para pemilih, dan berbagai pihak berhak hadir untuk menyaksikan dan mengikuti jalannya penghitungan suara oleh KPPS.

(3) Saksi Utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS.

(4) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS. apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(5) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.

Pasal 57

(1) Segera setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara yang ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Ketua KPPS serta para saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(2) KPPS wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara di TPS kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPS setempat.

Pasal 58

(1) PPS setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara TPS dalam wilayah kerja PPS yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Desa/Kelurahan dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masvarakat setempat.

(2) Saksi Utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPS.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPS, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakuan tabulasi basil penghitungan suara di semua TPS dalam wilayah kerja Desa/Kelurahan yang bersangkutan, PPS membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara, yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris PPS serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang Nadir.

(6) PPS wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hash Penghitungan Suara di PPS kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPK setempat.

Pasal 59

(1) PPK setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPS dalam wilayah kerja PPK yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Kecamatan dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masyarakat setempat.

(2) Saksi Utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPK.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Pescrta Pemilihan Umum yang hadir dapat mcngajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPK. apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hasil penghitungan suara di semua Desa/Kelurahan yang terdapat di Kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara, yang ditandatangani oleh Ketua dan sekretaris PPK serta para saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPK wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara di PPK kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPD II setempat

Pasal 60

(1) PPD II setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPK dalam wilavah kerja PPD II yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masyarakat setempat.

(2) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa suara mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPD II.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPD II, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPD II seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hasil penghitungan suara di semua kecamatan yang terdapat di Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan. PPD II membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris PPD II serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPD II wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hash Penghitungan Suara di PPD II kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPD I setempat.

Pasal 61

(1) PPD I setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPD II dalam Wilayah kerja PPD I yang bersangkutan, segera mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat Propinsi dan dihadiri oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan dapat dihadiri oleh masyarakat setempat.

(2) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik setempat dan menyerahkannya kepada Ketua PPD I.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPD I, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPD I seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hasil penghitungan suara di semua Daerah Tingkat II yang terdapat di Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, PPD I membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara, yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris PPD I serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPD I wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara di PPD I kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada PPI.

Pasal 62

(1) PPI setelah menerima Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara PPD I seluruh Indonesia. segcra mengadakan Penghitungan Suara untuk tingkat nasional dan dihadiri olch saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum serta dapat dihadiri oleh masyarakat.

(2) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum harus membawa surat mandat dari Pimpinan Partai Politik dan menyerahkannya kepada Ketua PPI.

(3) Saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan masyarakat melalui saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPI, apabila ternyata terdapat hal‑hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPI seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah selesai melakukan tabulasi hash penghitungan suara di semua Propinsi Daerah Tingkat I, PPI membuat Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara. yang ditandatangani oeh Ketua dan Sekretaris PPI serta para saksi utusan Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang hadir.

(6) PPI wajib memberikan satu lembar Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara tingkat nasional kepada saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang hadir dan kepada KPU.

Pasal 63

Keberatan yang diajukan oleh saksi utusan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum terhadap jalannya penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (5), Pasal 58 ayat (4), Pasal 59 ayat (4), Pasal 60 ayat (4), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 62 ayat (4) tidak menghalangi proses pelaksanaan Pemilihan Umum.

Pasal 64

Format Berita Acara dan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara di TPS serta Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara di PPS, PPK, PPD 11, PPD I, dan PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1). Pasal 58 ayat (5). Pasal 59 ayat (5), Pasal 61 ayat (5), dan Pasal 62 avat (5) ditetapkan oleh KPU.

Pasal 65

(1) Berdasarkan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara yang disampaikan oleh PPI, KPU menetapkan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum di seluruh Indonesia

(2) Penetapan keseluruhan hasil Penghitungan Suara yang dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghitungan Suara yang ditandatangani oleh sekurang‑kurangnya 2/3 (dua per tiga) Anggota KPU.

(3) Format Berita Acara dan Sertifikat Tabulasi Hasil Penghittingan Suara yang dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.

BAB XI

PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM

Pasal 66

(1) Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPRD II dilakukan oleh PPD II.

(2) Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPRD I dilakukan oleh PPD

(3) Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPR dilakukan oleh PPI.

(4) Penetapan keseluruhan hasil penghitungan suara untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II secara Nasional dilakukan oleh KPU.

Pasal 67

(1) Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk Anggota DPRD II, didasarkan atas seluruh hasil suara yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat II.

(2) Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk Anggota DPRD I, didasarkan atas seluruh hasil suara yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat 1.

(3) Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk Anggota DPR. didasarkan atas seluruh hasil suara yang diperoleh Paitai Politik tersebut di Daerah Tingkat I.

Pasal 68

(1) Penentuan calon terpilih Anggota DPRD II, dari masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum oleh PPD II berdasarkan pengajuan Pimpinan Partai Politik Daerah Tingkat II dengan mengacu kepada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh Partai Politik tersebut di Wilayah Kecamatan.

(2) Penentuan talon terpilih Anggota DPRD I dari masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum oleh PPD I berdasarkan pengajuan Pimpinan Partai Politik Daerah Tingkat I dengan mengacu kepada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat II.

(3) Penentuan talon terpilih Anggota DPR dari masing‑masing Partai Politik Peserta Pemilihan Umum oleh PPI berdasarkan pengajuan Pimpinan Partai Politik Tingkat Pusat dengan mengacu kepada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh Partai Politik tersebut di Daerah Tingkat II.

(4) Tata cara Pengesahan talon terpilih Anggota DPR, DPRD I, dun DPRD II secara nasional diatur oleh KPU.

Pasal 69

(1) Sisa suara untuk penetapan Anggota DPR habis dihitung di tingkat I untuk pembagi sisa kursi.

(2) Penentuan talon terpilih atas kursi sisa tersebut, merupakan wewenang Pimpinan Pusat Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang ber­sangkutan.

BAB XII

PENGUMUMAN HASIL PEMILIHAN DAN

PEMBERITAHUAN KEPADA CALON TERPILIH

Pasal 70

(1) Pengumuman hash Pemilihan Umum Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR Pusat dilakukan oleh :

a. PPD II untuk Anggota DPRD II; b. PPD I untuk Anggota DPRD I;

c. PPI untuk Anggota DPR.

(2) Pengumuman hasil Pemilihan Umum Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jadwal waktunya ditentukan lebih lanjut oleh KPU.

Pasal 71

(1) Pemberitahuan kepada calon terpilih Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR dilakukan oleh :

a. PPD II untuk Calon Anggota DPRD II terpilih;

b. PPD I untuk Calon Anggota DPRD I terpilih;

c. PPI untuk Calon Anggota DPR terpilih.

(2) Pemberitahuan kepada calon Anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jadwal waktunya ditentukan lebih lanjut oleh KPU.

BAB XIII

KETENTUAN PH)ANA

Pasal 72

(I) Barang siapa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Barang siapa meniru atau memalsu sesuatu surat, yang menurut suatu aturan dalam Undang‑undang ini diperlukan untuk men jalankan sesuatu perbuatan dalam Pemilihan Umum, dengan maksud untuk dipergunakan sendiri atau orang lain sebagai surat sah dan tidak dipalsukan. dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Barang siapa dengan sengaja dan mengetahui bahwa sesuatu surat dimaksud pada ayat (2) adalah tidak sah atau dipalsukan. memper­gunakannya atau menyuruh orang lain mempergunakannya, sebagai surat sah dan tidak dipalsukan, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 73

(1) Barang siapa dengan sengaja mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya Pemilihan Umum yang diselenggarakan menurut Undang‑undang ini, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(2) Barang siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan menghalang‑halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih dengan bebas dan tidak terganggu jalannya kegiatan Pemilihan Umum dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Barang siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.

(4) Barang siapa pada waktu diselenggarakan Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini melakukan tipu muslihat yang menyebabkan suara seseorang pemilih menjadi tidak berharga atau yang menyebabkan partai tertentu mendapatkan tambahan suara, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(5) Barang siapa dengan sengaja turut serta dalam Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) huruf f dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(7) Barang siapa memberikan suaranya lebih dari yang ditetapkan dalam Undang‑nndang ini dalam satu Pemilihan Umum. dipidana dengan huku­man penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(8) Barang siapa pada waktu diselenggarakan Pemilihan Umum menurut Undang‑undang ini dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan, atau melakukan sesuatu perbuatan tipu muslihat, yang menyebabkan hasil pemungutan suara itu menjadi lain dari yang harus diperoleh dengan suara‑suara yang diberikan dengan sah, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(9) Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya tanpa alasan bahwa pekerjaan dari pekerja itu tidak memungkinkannya, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(10) Seorang penyelenggara Pemilihan Umum yang melalaikan kewajibannya dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 3 (figs) bulan atau denda paling tinggi Rp 10.000.000,‑ (sepuluh juta rupiah).

(11) Barang siapa memberikan sumbangan dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KPU dipidana dengan hukuman kurangan paling lama 3 (figs) bulan atau denda paling banyak Rp 10.000.000,‑ (sepuluh juta rupiah).

Pasal 74

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) sampai dengan ayat (9) adalah kejahatan.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (10) dan ayat (11) adalah pelanggaran.

Pasal 75

Dalam menjatuhkan pidana atas perbuatan‑perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dan ayat (3), surat‑surat yang dipergunakan dalam tindak pidana itu, beserta benda‑benda dan barang yang menurut sifatnya diperuntukkan guna meniru atau memalsu surat‑surat itu, dirampas dan dimusnahkan, juga kalau surat‑surat, benda‑benda atau barang‑barang itu bukan kepunyaan terpidana.

BAB XIV

KETENTUAN LAIN‑LAIN

Pasal 76

Apabila di suatu tempat di dalam suatu daerah pemilihan sesudah diadakan penelitian dan pemeriksaan termyata terdapat kekeliruan, kesalahan, atau hal­-hal lain yang menghambat dalam pemungutan suara, yang mengakibatkan terganggunya penghitungan suara PPD I/PPD II yang bersangkutan, dengan memperhatikan ketentuan jadwal waktu yang ditetapkan, yang dikuatkan oleh Panitia Pengawas dan Pemerintah Daerah setempat, dapat mengadakan pemungutan suara ulangan di tempat yang bersangkutan.

Pasal 77

Apabila di suatu tempat di dalam suatu daerah pemilihan pada waktu yang telah ditetapkan tidak dapat diselenggarakan Pemilihan Umum atau penyeleng­garaannya terhenti disebabkan oleh keadaan yang memaksa, maka sesudah keadaan memungkinkan, segera diadakan Pemilihan Umum susulan atau Pemilihan Umum ulangan di tempat yang sama dengan memperhatikan ketentuan Batas waktu yang telah ditetapkan.

Pasal 78

Pelaksanaan pemungutan suara ulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan pelaksanaan Pemilihan Umum susulan atau Pemilihan Umum ulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasa177 dilakukan selambat‑lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak hari pemungutan suara.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 79

(1) Sebelum KPU terbentuk, Lembaga Pemilihan Umum (LPU) sebagaimana dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-­undang Nomor 1 Tahun 1985, melaksanakan tugas KPU sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf b dun Pasal 39 ayat (5) paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah Undang‑undang ini diundangkan.

(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPU harus sudah dibentuk dan segala hak dan kewajiban LPU menjadi tanggung jawab KPU.

Pasal 80

(1) Untuk Pemilihan Umum tahun 1999, Organisasi Peserta Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 1997 dianggap telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 39 Undang‑undang ini.

(2) Organisasi Peserta Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 1997 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap harus mendaftar sebagai peserta Pemilihan Umum tahun 1999.

Pasal 81

Khusus pengisian Anggota MPR hasil Pemilihan Umum tahun 1999 dari Utusan Golongan diatur sebagai berikut :

a. KPU menetapkan jenis dan jumlah wakil masing‑masing golongan;

b. Utusan golongan sebagaimana dimaksud pada huruf a, diusulkan oleh golongan masing‑masing kepada KPU untuk ditetapkan, dun selanjutnya diresmikan secara administratif oleh Presiden sebagai Kepala Negara;

c. Tata cara penetapan Anggota MPR dari Utusan Golongan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, diatur lebih lanjut oleh KPU.

Pasal 82

Untuk Pemilihan Umum tahun 1999, syarat Partai Politik untuk dapat menjadi peserta Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan menjadi : a. memiliki pengurus di 1/3 (sepertiga) jumlah propinsi di Indonesia:

b. memiliki pengurus di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 83

Masa kerja KPU untuk Pemilihan Umum 1999 berakhir 1 tahun sebelum Pemilihan Umum 2004.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 84

Segala sesuatu yang belum cukup diatur di dalam Undang‑undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah sesuai kebutuhan.

Pasal 85

Dengan berlakunya Undang‑undang ini, maka Undang‑undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota‑anggota Badan Permusya­waratan/Perwakilan Rakyat (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2914) sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1975 (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3063), Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1980 (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3163), dan Undang‑undang Nomor 1 Tahun 1985 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3281), dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 86

Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan penempatanya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 1 Pebruari 19993

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Pebruari 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 23.

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan

Perundang‑undangan II

Plt.

Edy Sudibyo, S.H.